UDIN MENENGGAK OLI DAN MATI


UDIN MENENGGAK OLI DAN MATI:
Sebuah Telisik Ringan
oleh : Khrisna Pabichara

Tulisan ini adalah telaah ringan dari cerpen “Kupu Malam, Anjing Kurus, dan Udin, karya Yanusa Nugroho, dimuat di Jurnal Cerpen Indonesia Edisi 09, halaman 81-84.

Tulisan ini untuk disajikan pada Diskusi Sastra Bulanan Komunitas Sastra Jakarta (KOSAKATA), yang rencana akan dilaksanakan pada Minggu, 26 April 2009, di Pesona Kayangan, Kota Depok.


UDIN MENENGGAK OLI DAN MATI: Sebuah Telisik Ringan
Oleh : Khrisna Pabichara


PINTU MASUK

LEZAT DAN BERGIZI. Itulah pintu masuk yang menjadi dasar pijakan dalam memilih bacaan yang hendak saya konsumsi. Hal sama saya berlakukan ketika membaca cerpen. Tulisan apa pun bagi saya, termasuk cerpen, seperti sering dituturkan Hernowo, harus “lezat” dan “bergizi”. Lezat berarti renyah, gurih, dan mampu merangsang selera baca. Bergizi berarti dapat memberikan manfaat bagi saya.

Bagi saya, cerpen yang lezat dan bergizi memiliki tiga ciri. Pertama, memiliki keunggulan komparatif. Dalam hal ini, cerpen itu harus bisa dibandingkan dengan cerpen lain, terutama dari segi kwalitasnya. Kedua, memiliki keunggulan kompetitif. Artinya, cerpen itu telah melewati proses “seleksi”, misalnya melalui proses sunting di penerbitan, proses pemilihan di media massa, memenangi lomba penulisan cerpen, atau menerima penghargaan. Ketiga, menawarkan kebaruan. Sehingga, cerpen itu mencerahkan saya. Baik dari segi taktik bertutur dan menyampaikan gagasan, maupun pada makna yang disandang cerpen itu.

Banyak orang yang enggan diperdaya oleh apa yang dibacanya. Begitu pula saya. Saya ingin, membaca cerpen adalah kegiatan bersastra yang bisa mencerdaskan diri saya. Saya harap, cerpen yang saya baca menawarkan rangsangan membaca dan menumbuhkan semangat menulis.

Dan, yang tak kalah penting, kemampuan bersastra saya semakin terasah.

Lantas, bagaimana saya mendeteksi sebuah cerpen yang lezat dan bergizi? Apakah saya harus bertanya kiri-kanan dulu untuk mendapatkan informasi tentang cerpen apa saja yang layak atau tidak layak dibaca? Apakah saya harus menyiksa diri dulu mencari referensi atau resensi tentang cerpen yang memenuhi keinginan saya?

Tidak perlu. Itulah jawabannya. Cerpen yang lezat dan bergizi bisa dilihat dari (1) siapa pengarangnya, (2) caranya meracik bahasa, (3) terampil atau tidaknya menata menu gagasan, (4) ketika membaca paragraf pertama kita merasa berada dalam keadaan yang “menyenangkan”.

Itulah “pintu masuk” saya ketika membaca cerpen Kupu Malam, Anjing Kurus, dan Udin, karya Yanusa Nugroho ini.

MENU YANG AKRAB

SIAPA DI ANTARA KITA yang tidak mengenal kupu-kupu? Adakah orang yang tidak tahu atau tidak pernah melihat anjing? Apakah ada di antara kita yang asing pada malam? Dan, tengok sekitar kita, berapa banyak orang bernama Udin? Tentu saja, kupu-kupu dan anjing adalah binatang yang akrab bagi kita. Sama akrabnya dengan malam dan kenalan atau tetangga bernama Udin.

Disinilah salah satu titik lezat cerpen ini. Yanusa Nugroho, selanjutnya saya sebut Yanusa, menawarkan sesuatu yang “akrab” dengan kita. Sesuatu yang membumi. Sesuatu yang kita lihat sehari-hari. Coba kita telisik paragraf pertamanya.

Jangan berharap sesuatu akan tiba, di malam hari. Biasa saja. Tentu saja gelap. Tetapi, jangan berharap bahwa ada malaikat turun, sebagaimana yang ada di dongeng-dongeng kanak-kanak. Tidak. Hanya langit yang mencurahkan cahaya remangnya ke bumi. Apalagi jika bulan pamer tubuh moleknya, maka dusun ini bermandi cahaya, seperti malam ini. Hanya itu.


Merancang cerpennya berawal dari paragraf pembuka seperti ini, Yanusa berhasil memberikan efek rangsang. Ia menawarkan sesuatu yang biasa, tetapi diawali dengan kata “jangan”, kata yang selalu menumbuhkan rasa ingin tahu mengapa dan apa sebabnya sehingga pembaca dilarang berharap banyak pada malam.

Aku pernah menyaksikan kupu terbang malam. Aku bahkan hafal kapan si Udin mulai berteriak-teriak. Aku tahu persis, kapan setelah semua itu berlalu, kesunyian mengendap-endap hadir di kampung ini. Sudahlah, semua aku tahu itu.


Penuturan semacam ini memang lumrah kita temukan. Model penulisan naratif bukan lagi hal biasa, seperti pernah diungkapkan seorang kritikus cerpen, Maman S. Mahayana. Bahkan, menurut Raudal Tanjung Banua, belakangan ini banyak cerpenis yang lebih condong menggunakan narasi dalam bercerita. Akan tetapi, Yanusa “meracik” bahasa sederhana itu menjadi narasi yang menarik.

Kekuatan cerpen ini tidak hanya terletak pada kemahiran berbahasa, melainkan juga pada kemampuan berekspresi dan bereksperimen dalam menyampaikan imajinasinya. Coba lihat paragraf berikut ini.

Seperti Udin yang biasanya sudah berteriak-teriak tak jelas itu, kami semua adalah makhluk tolol, yang bahkan masih berharap hidup lebih baik. Udin, entah siapa dia sebenarnya, adalah makhluk tolol yang bisa kujadikan contoh. Dia punya empang, dulunya. Empang itu dijual entah kepada siapa, dan uangnya dibelikan sepeda motor. Hampir sebulan dia menunggu motor barunya. Hampir dua minggu dia belajar naik motor ―dan menghabiskan dua pasang sandal jepit. Setelah itu, motornya tak kelihatan lagi karena kehabisan bensin, sementara mencari bensin, jauhnya seperti mencari sorga!


Apa yang dilakukan Udin, menjual empang untuk membeli motor, banyak terjadi di sekitar kita. Bahkan, dewasa ini, banyak orang yang berani menghabiskan hartanya untuk “membeli kursi”, layaknya kelakuan Udin, jual empang beli motor.

Bahwa Udin membeli motor padahal belum mampu mengendarainya, pun banyak terjadi di sekitar kita. Coba telisik, apakah artis yang belajar dunia politik seminggu menjelang penutupan pendaftaran “caleg” dapat kita sebut menguasai cara penyusunan undang-undang?

Begitu pula halnya, bahwa Udin melego empang miliknya untuk hal baru yang belum jelas untung ruginya, di mana pasak lebih besar dari tiang, tanpa analisa mendalam dan menyeluruh tentang kekuatan-kelemahan-kendala-peluang, merupakan peristiwa yang biasa terjadi.

Karakter tokoh yang digambarkan Yanusa sebagai figur yang gamang dan kebingungan, juga tampak pada tokoh anjing yang menunggu dan mengamati kupu malam terbang. Bersiaga penuh. Namun, ketika peluang menangkap sudah di depan mata, anjing itu malah membiarkan kupu malam hinggap di hidungnya, lalu menghilang.

Dan, coba lihat dialog yang menjadi penutup cerpen ini.

“Eh, tahunya dari siapa?
“Tahu apa?”
“Si Udin mati.”
“Tadi aku yang bawa ke Puskesmas.”
“Kenapa?”
“Minum oli.”
Kali ini kesunyian tiba-tiba meruncing, seruncing jarum, yang dengan tenangnya menusukku
.


Boleh jadi, ini kita anggap intermezo. Namun, jangan pandang remeh. Ini realita. Ini sesuatu yang benar-benar terjadi. Bukan berarti ada orang di dunia nyata ini yang nyata-nyata mati karena menenggak oli, seperti Udin, melainkan makna tersirat dari cerpen itu. Di Cirebon, banyak caleg gagal yang langsung memasuki padepokan untuk diservis jiwanya. Di Bulukumba, ada caleg gagal yang menutup jalan karena suaranya jeblok. Di Ambon, ada yang menarik kembali sumbangan karpetnya. Di Parung, ada caleg yang tidak mau lagi meyapa tetangganya, hanya karena suaranya di TPS dekat rumahnya, persis sama dengan jumlah wajib pilih yang ada di rumahnya.

Begitulah, Yanusa dengan lugas berkisah tentang dunia sekitarnya.

PINTU PENUTUP

SETIAP KARYA SASTRA pasti lahir dari sebuah proses, demikian pendapat Yos Rizal Suriaji. Itu benar. Saya sendiri termasuk orang yang selalu terpesona pada proses kreatif seorang pengarang melahirkan karyanya. Dan, itu pula yang saya rekam dari upaya Yanusa meramu pengalaman dan pergulatan pikirannya, kemudian dituangkannya ke dalam cerpen ini.

Kebingungan, di tangan pengarang yang pernah menjadi “pejabat” IKAPI ini, berubah menjadi bahan lelucon, sekaligus renungan. Kita bisa tertawa, bahkan terbahak-bahak, karena tingkah anjing pada kupu malam dan Udin pada motornya. Tetapi, kita juga bisa merasa miris ketika akhirnya Udin mati sebelum sempat berlama-lama merasakan “nyaman” motornya.

Bagi saya, cerpen yang baik, bisa kita baca kapan saja. Kita bisa tarik maknanya dan mencocokkan dengan keadaan terkini, kapan dan di mana saja. Itu bila cerpen tersebut “lezat” dan “bergizi. Dan setelah saya baca, cerpen ini terbukti memang “lezat”. Juga “bergizi”, karena itulah maka saya menelaahnya. Meskipun dengan ringan.

Parung, 21 April 2009
Khrisna Pabichara, motivator pembelajaran dan penyuka cerpen.

0 komentar:



Posting Komentar