Membangun karir di rumah tangga
Oleh : Siti Nurhasanah
Pertama sekali saya diminta untuk menuliskan pengalaman pertama menjalani peran sebagai ibu, terus terang saya bingung. Kebingungan itu muncul karena ada begitu banyak pengalaman, dari proses akan menikah, hamil hingga punya anak. Ketiga proses itu memiliki kisah sendiri yang harus saya pilah-pilah untuk dituliskan. Karena untuk menuliskannya rasanya jari-jari ini tidak akan bisa berhenti menceritakan kisah-kisah pribadi itu.
Allahu Akbar…memang sungguh maha besar Allah, yang telah membuat tuntunan kepada manusia untuk memiliki keturunan dimulai dari proses memilih pasangan. Itu adalah rangkaian proses yang tak bisa dipisahkan. Karena memiliki anak yang sholeh adalah impian setiap mukmin. Tentu saja anak-anak yang sholeh bisa terlahir dari orangtua yang juga shalih. Untuk itu, maka memilih pasangan hidup bukan hal yang main-main. Sebab kriteria agama menjadi patokan mutlak dalam memilih pasangan telah diingatkan dalam sabda Rasulullah.
Dulu, saya dalam tiap akhir sujud shalat senantiasa berdoa agar mendapatkan pasangan yang baik agamanya. Karena saya yakin dengan hidup bersama orang yang baik agamanya, itu sudah lebih dari cukup untuk membawa saya dan keluarga saya ke kehidupan Jannah. Sebuah kehidupan yang penuh dengan keindahan dan kedamaian. Saat itu, kriteria saya hanya sesederhana itu. Hingga akhirnya saya berkenalan dengan seseorang (yang sekarang menjadi ayah dari anak saya) melalui sebuah media internet. Sesuatu yang juga tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, karena ternyata ia lebih muda, dan pendidikan resminya tidak sampai strata-1. Lebih parah lagi saat itu beliau sedang menjalani program training untuk kontrak sebuah perusahaan di Jepang.
Sebenarnya kita tidak terlalu banyak nyambung dalam diskusi, bahkan kita sering merasa punya perbedaan yang cukup jauh dari hasil diskusi yang kita bangun. Tapi akhirnya pada titik tertentu, kita sama-sama menemukan nilai lebih pada pribadi masing-masing yang membuat kita berkomitmen untuk menikah. Satu hal yang cukup membuat saya bangga padanya ia adalah sosok yang mandiri dan penyayang dengan keluarga.
Akhirnya November 2005, tidak lama sepulang ia dari Jepang kami menikah dan saya mau tidak mau ikut dengannya ke kampong halamannya di Kediri, Jawa Timur. Dulu saya tidak membayangkan Medan dan Kediri itu jauh, tapi sekarang mulai terasa, ujung utara Sumatera dan Timur Pulau Jawa adalah jarak yang tidak main-main jauhnya. Konsekwensinya kita harus selalu punya rejeki lebih untuk bisa wira-wiri Medan Kediri.
Memutuskan menikah dengan orang di seberang pulau, dengan konsekwensi meninggalkan apa yang telah saya bangun di Medan sebenarnya bukan keputusan mudah. Tapi karena saya adalah orang yang termasuk memprioritaskan keluarga dibandingkan lainnya, maka keputusan menikah itu saya anggap keputusan terbaik dalam hidup saya.
Setelah menikah, lautan yang kami harungi airnya tak selalu tenang ada riak-riak yang sering mengganggu interaksi kami berdua. Dari proses penyesuaian diri, kemudian keterkejutan akan sikap-sikap pasangan yang di luar prediksi, kemudian perbedaan dalam memahami sesuatu, semua menjadi sesuatu yang tidak gampang untuk dilewati. Namun lagi-lagi komitmen telah membuat riak-riak kecil itu menjadi nyaris tak berarti.
Tapi begitulah, Alhamdulillah kita merasa hidup kita selalu berkecukupan. Meskipun di awal menikah suami memutuskan untuk tidak menerima tawaran bekerja di Perusahaan di Bekasi. Kita memilih untuk menjadi entrepreneur. Dengan sedikit modal yang dimiliki suami kami mulai banyak mencoba peluang-peluang usaha yang ada. Masa 6 bulan di awal nikah kita lebih banyak pengeluaran, tanpa ada pemasukan pasti. Kalopun ada, dari bagi hasil penjualan sapi milik suami yang diperlihara orang lain. Sampai akhirnya saya juga tidak tahan, dan ingin bekerja di luar rumah (biasalah..saya penganut anti kemampanan). Suami sempat tidak setuju dan kita banyak beda pendapat soal itu. Tapi saya keras hati hingga akhirnya saya melamar ke PT. Telkomsel di Surabaya, akhirnya ketika mendapat panggilan, dengan setia suami mengantarkanku dan menunggui proses wawancaraku di Surabaya. Waktu itu Juli 2006. Setelah proses wawancara, tiba-tiba muncul kebimbangan dalam hati kalau saya bekerja, kapan saya akan punya anak, dan bagaimana nanti kalau hamil dan mengurus anak. Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggu di masa saya menanti keputusan apakah saya diterima atau tidak di perusahaan itu. Hingga akhirnya saya berdoa lagi pada Allah, untuk memberikan yang terbaik bagi saya. Ya Allah berikanlah rejeki dalam bentuk apa saja, jika memang dipanggil bekerja adalah rejekiku maka mudahkanlah, namun jika hamil adalah rejekiku, maka segerakanlah. Itulah doa yang sering kupanjatkan selepas proses wawancara di Surabaya.
selanjutnya baca postingan saya di
http://aasonline.wordpress.com/2009/04/21/membangun-karir-dalam-rumah-tangga-bag2/
------------------------------------
Sumber : Situsnya Penulis! http://www.penulislepas.com :)
0 komentar:
Posting Komentar