Paradoks Melek Huruf
: agus m. irkham
Secara amat mengagumkan Indonesia mampu mengikis angka buta huruf. Terhitung sejak tahun 2007 tak kurang dari 10,1 juta orang mampu dientaskan dari kegelapan aksara. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, rerata kurang dari 1,7 juta orang. Artinya angka melek huruf kita sekarang ini lebih dari 90 persen. Jauh di atas rerata negara berkembang yang hanya 69 persen. Itu sebab barangkali, pada tahun 2008, oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) Indonesia ditunjuk sebagai model untuk pemberantasan buta aksara di kawasan Asia Pasifik.
Tapi rupa-rupanya prestasi itu menyimpan paradoks tersendiri. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan UNESCO, minat baca kita masih rendah. Di kawasan Asia saja, tahun 2006, kita paling buncit.
Bagaimana dengan minat baca para siswa sekolah? International Educational Achievement mencatat minat baca siswa Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN. Dari 39 negara yang dijadikan sempel penelitian, Indonesia menempati urutan ke-38.
Penilaian UNESCO dan IEA itu antara lain yang mendorong UNDP (United Nations Development Program) menempatkan Indonesia pada urutan rendah dalam hal pembangunan sumber daya manusia.
Rendahnya minat baca juga bisa diukur dari jumlah judul buku baru yang diterbitkan. Indonesia dengan penduduk 225 juta setiap tahun hanya memproduksi 8.000 judul buku. Atau 35 judul buku baru per satu juta penduduk. Padahal—ini sekadar perbandingan— Vietnam dengan 80 juta penduduk sudah memproduksi 15.000 judul. Setara dengan 187 judul buku baru per satu juta penduduk. Vietnam, meskipun umur kemerdekaannya 30 tahun lebih muda dibandingkan Indonesia, melesat jauh di atas rerata negara berkembang, yaitu 55 judul buku baru per satu juta penduduk.
Paradoks di atas menerbitkan satu simpulan: dalam konteks ke-Indonesia-an melek huruf tinggi ternyata tidak menjamin tingginya minat baca. Mengapa bisa terjadi demikian?
Mulai dari sekolah
Pendorong utama munculnya paradoks tersebut adalah lantaran tidak digunakannya pendidikan formal (sekolah) sebagai saluran utama untuk meningkatkan minat baca. Secara teknis, tentang bagaimana sekolah atau pendidikan formal dapat dijadikan sarana menyebar virus membaca, dapat kita simak dari tuturan para peserta yang hadir di seminar internasional Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) bertema Reading for All. Seminar yang dihelat di Jakarta, September tiga tahun silam itu menghadirkan pembicara dari Jepang, Belanda, Australia, Singapura, dan Malaysia. (Toeti Adhitama, 2008; Hernowo, 2009).
Kita mulai dari Jepang. Negara yang tiap tahunnya mencetak lebih dari 1 miliar buku ini, sekarang memiliki prinsip: teman duduk terbaik adalah buku. Sekolah-sekolah di Jepang mewajibkan para siswa membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar. Metode pendidikannya dibuat sedemikian rupa sehingga para murid terdorong aktif membaca.
Lain Jepang, lain pula Belanda,. Di negeri kincir angin ini, peningkatan minat baca disiasati dengan mengharuskan para siswa memperkaya pengetahuan dengan membaca, ditunjang sistem perpustakaan (sekolah) yang memenuhi kebutuhan mereka.
Sementara itu di Singapura minat baca para siswa ditumbuhkan lewat kurikulum. Misalnya guru mengharuskan siswa menyelesaikan pekerjaan sekolah dengan dukungan sebanyak mungkin buku.
Tak kalah menarik, adalah yang dilakukan pemerintah Australia. Para siswa dibekali dengan semacam kartu untuk menuliskan judul buku yang dibaca. Catatan hasil membaca dan penilaian atas buku yang dibaca dilakukan setiap hari, sebelum kelas dimulai. Guru menyuruh setiap siswa menceritakan isi buku yang telah dibacanya. Dengan begitu siswa-siswa di negeri kanguru ini tidak hanya gila baca tapi otot tangan mereka juga terlatih untuk menulis. Berbicara di hadapan banyak orangpun sudah tidak lagi menjadi masalah.
Nah, yang agak berbeda adalah yang dilakukan tetangga dekat kita, Malaysia. Pemerintah Malaysia menempatkan orangtua di posisi yang sangat penting dalam program kampanye membaca. Para orangtua harus menjadi teladan pertama bagi anak-anaknya dalam urusan membaca.
Tentang keteladanan orangtua ini, Pustaka Publik di negeri Serawak, Malaysia, menyiasatinya dengan meminta kerja sama orangtua untuk menanamkan kebiasaan membaca. Orangtualah yang dipinjami buku. Dalam beberapa minggu, petugas Pustaka Publik datang kembali untuk mengganti buku-buku lama dengan yang baru.
Bagaimana dengan Indonesia?
Di sini, aktivitas mendaras buku belum dijadikan menu wajib di setiap subjek pembelajaran di sekolah. Kalau toh ada kegiatan membaca buku, itu bersifat seketika, tidak sengaja, mendadak, reaktif, bukan bagian dari sistem yang dirancang secara tetap, dan terukur. Satu contoh sederhana, kita tidak memiliki standar minimal tentang bacaan wajib karya sastra yang harus dikhatamkan siswa di tiap jenjang pendidikan, entah itu berdasarkan jumlah (quantity) maupun judul-judul tertentu (quality).
Hal itu sangat bertolak belakang dengan kondisi yang berlaku di negara lain. Seperti yang sering dikemukakan satrawan gaek, Taufiq Ismail. Setiap tahun di Amerika, siswa ditugasi membaca novel sastra sebanyak 32 judul, Belanda 30, Prancis 20, Jerman 22, Jepang 15, Kanada 13, Singapura 6, Brunei 7, dan Thailand 5 judul.
Lainnya, dapat dicandra dari jumlah perpustakaan sekolah. Di Indonesia, Sekolah Dasar yang memiliki perpustakaan hanya sekitar 1 persen. Sedangkan SMP dan SMA kurang dari 54 persen. Itu pun belum memasukkan pertanyaan: seberapa lengkap koleksi buku dan media teks non teks lainnya yang dimiliki? Bagaimana sistem pengelolaan dan promosi baca yang dilakukan pustawakan?
Serius, tanpa ada upaya sungguh-sungguh dari pemilik kuasa birokrasi (pemerintah), kuasa politik (partai), dan moral (komunitas, golongan terdidik-tercerahkan) mengatasi paradoks melek huruf ini, kualitas sumber daya manusia Indonesia akan semakin terpuruk. Tuna adab akan tambah merebak. Tuna budaya akan kian merajalela.♦
agus m. Irkham
instruktur literasi forum indonesia membaca
http://kubukubuku.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar