Oxidation Ditch dan Adsorpsi Karbon Aktif

Thursday, April 23, 2009

Oxidation Ditch

Oleh : Gede H. Cahyana
Sumber : http:// Gedehace.blogspot.com



Pengolahan air limbah yang banyak diterapkan, baik untuk air limbah domestik maupun air limbah industri, apalagi air limbah yang kaya warna seperti tekstil, adalah activated sludge. Meskipun relatif lebih mahal biaya investasi dan operasi-rawatnya, namun activated sludge lebih banyak dibuat daripada proses pengolahan air limbah secara anaerob. Sebabnya adalah kemudahan dalam “beternak” bakteri aerob dibandingkan dengan bakteri anaerob yang sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan seperti temperatur, pH, materi toksik dalam air limbah, variasi beban organik dan hidrolis, dll. Selain itu, variasi activated sludge juga sangat banyak, mencapai belasan varian sehingga banyak pula peluang untuk memilihnya. Salah satunya adalah oxidation ditch.

Secara etimologis, frase tersebut berasal dari dua kata dasar, yaitu oxide dan ditch. Oxide berkaitan dengan oksigen dan ditch berarti saluran, selokan, parit, kanal. Menurut istilah, oxidation ditch adalah bak berbentuk parit yang digunakan untuk mengolah air limbah dengan memanfaatkan oksigen (kondisi aerob). Namun istilah ini sering disalahartikan atau dipertukarkan dengan istilah oxidation pond yang merupakan kolam oksidasi atau sering juga disebut stabilization pond. Di unit ini oksigen yang diperoleh bakteri berlangsung secara alami tanpa bantuan alat mekanis semacam aerator sehingga di bagian bawahnya terjadi kondisi anaerob. Kondisi septic ini tidak terjadi pada ditch yang bekerja optimal. Begitu pula, di dalam ditch terjadi pengadukan yang nyaris sempurna (complete mixing), jauh lebih teraduk daripada pond, terutama di sekitar rotornya. Rotor inilah yang mendukung pengadukan, sirkulasi, aerasi dan oksidasi air limbah dan merupakan modifikasi Kessener brush aerator (jenis aerator yang dipasang memanjang di pinggir saluran).

Rotor itu pun menentukan kapasitas oksigenasi khususnya yang berkenaan dengan bentuk, ukuran, dan kedalaman celupan (depth of immersion). Kedalaman celupan ini ada nilai optimumnya, tidak boleh kurang atau lebih karena kapasitas transfer oksigennya akan menurun dan nilainya ditentukan oleh kedalaman kritisnya (critical depth). Begitu pula, makin cepat putaran rotornya, makin banyak oksigen yang masuk ke dalam air limbah. Agar tidak terjadi endapan, kecepatan minimum yang diharapkan antara 0,25 s.d 0,3 m/d. Dengan kecepatan ini, partikel dan bioflok berada dalam kondisi tersuspensi. Dalam praktiknya, jumlah rotor ikut mempengaruhi kecepatan yang dihasilkan. Makin banyak rotor, makin banyak juga oksigen yang ditransfer ke dalam massa air limbah dan bioflok tetapi makin mahal biaya investasi dan perawatannya. Umumnya, konsentrasi oksigen sangat tinggi di sekitar rotor. Air limbah yang baru saja melewati rotor kaya akan oksigen dan sebaliknya, miskin oksigen ketika kembali ke rotor setelah berkeliling sepanjang parit oksidasi. Hal ini berlaku untuk parit oksidasi yang hanya memiliki satu rotor. Jumlah unit rotor yang dipasang dipengaruhi oleh taraf pencemaran air limbah dan debitnya.

Konstruksi dan Operasi
Parit oksidasi berbentuk lingkaran, oval atau ellips dengan beberapa variasi pada salah satu ujungnya. Air limbah yang diolah di unit ini harus diskrin dulu dengan coarse screen (MAM edisi Januari 2009) dan dikominusi dengan comminutor agar ranting dan sampah menjadi berukuran kecil dan dapat disisihkan. Setelah itu air limbah dialirkan ke dalam grit chamber untuk menyisihkan pasirnya. Tahap selanjutnya adalah primary settling tank yang berfungsi mengendapkan partikel yang lolos dari grit chamber. Efluen settling tank ini selanjutnya masuk ke parit oksidasi. Pada setiap unitnya, air limbah selalu mengalami pengenceran (dilusi) otomatis ketika kembali mengalir melewati bagian inlet. Faktor dilusi ini bisa mencapai nilai 20 s.d 30 sehingga nyaris teraduk sempurna meskipun bentuk baknya mendukung aliran plug flow, yakni hanya teraduk pada arah radial saja dengan aliran yang searah (unidirectional). Influennya serta merta bercampur dengan air limbah yang sudah dioksigenasi dan mengalami fase kekurangan oksigen. Pengulangan ini berlangsung terus-menerus selama pengoperasian parit oksidasi.

Bahan parit bisa berupa pasangan batu kali, batu-bata, atau beton. Pilihan bahan bergantung pada besar kecilnya debit yang diolah dan kondisi air tanah setempat serta jauh-dekatnya dengan permukiman. Pada instalasi yang besar, parit oksidasi selalu dilengkapi dengan secondary settling tank yang difungsikan untuk mengendapkan bioflok dan air limbahnya dialirkan secara kontinyu. Untuk menambah efisiensi pengolahannya, dilengkapi juga dengan fasilitas resirkulasi lumpur (returned sludge). Berbagai macam cara dapat diterapkan untuk mengembalikan lumpur endapan di secondary settling tank ini. Yang biasa dilakukan adalah dengan memasang pompa lumpur ulir (screw pump). Endapan lumpur (sludge) dialirkan secara hidrolis ke bak penampung lumpur. Karena secara hidrolis maka elevasi alas bak screw pump berada di bawah taraf muka air di secondary settling tank. Resirkulasi ini berlangsung kontinyu 24 jam sehari. Untuk mengatur konsentrasi lumpur yang masuk ke dalam parit oksidasi maka di unit penampung lumpur ini dilengkapi juga dengan kanal untuk membuang kelebihan lumpur (excess sludge) yang dialirkan ke unit pengering lumpur (sludge drying bed).

Modus kedua pengoperasian parit oksidasi adalah secara berkala. Parit oksidasi ini tidak dilengkapi dengan secondary settling tank. Bioflok dibiarkan mengendap di dalam parit sampai endapannya terkumpul cukup banyak di lantai parit dalam tempo tertentu. Di sini parit difungsikan juga sebagai sedimentor. Setelah mayoritas biofloknya mengendap maka air olahannya dialirkan ke outlet, lalu dibuang ke saluran atau sungai sedangkan sludge-nya dipompakan ke bak pengering lumpur. Tentu saja tidak semua lumpurnya disedot dan dikeringkan tetapi ada porsi tertentu yang disisakan untuk starter pada periode pengolahan air limbah selanjutnya. Modus operasi seperti ini mengingatkan kita pada pola operasi sequencing batch reactor (MAM, edisi Oktober 2006) yang hanya diterapkan untuk kapasitas kecil, biasanya untuk pabrik kecil atau pabrik besar dengan kuantitas air limbah sedikit. Agar pertumbuhan bakterinya optimum, sebaiknya air limbah pabrik (terutama pabrik yang air limbahnya sedikit mengandung zat organik) digabung dengan air limbah domestik dari kamar mandi dan kloset, juga dicampur dengan air limbah dapur asalkan di bagian awalnya dilengkapi dengan penangkap lemak (grease trap).

Pada instalasi besar, bentuk penampang melintang parit berupa trapezium. Bentuk segiempat juga bisa tetapi hanya untuk IPAL berkapasitas kecil. Kedalaman parit antara 1,5 – 2 m, bergantung pada besar-kecilnya debit yang diolah dan luas lahan yang tersedia. Lebar paritnya biasanya disesuaikan dengan panjang rotor yang dibuat oleh pabrik. Dengan demikian, saat mendesain parit oksidasi, perancang harus berhubungan dengan vendor atau pabrikan rotor dan mempelajari spesifikasi teknis rotornya. Rotor yang biasa digunakan adalah cage rotor, berisi lembaran pelat logam yang dipasang mirip sikat yang biasa digunakan untuk membersihkan tabung reaksi di laboratorium. Poros (shaft) rotor ini diputar oleh motor berkecepatan tertentu sesuai dengan spesifikasinya. Putarannya bisa mencapai 72 rpm (revolution per minute, putaran per menit) dengan kedalaman celupan 13,5 cm.

Foto terlampir adalah parit oksidasi yang baru selesai dibangun, masih dalam tahap praolah atau trial run dan commissioning test. Air limbah sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam reaktor sambil diberikan bakteri yang berasal dari septic tank. Belasan mobil tinja dikerahkan untuk memberikan “kehidupan” awal bagi mikroba di dalam reaktor oxidation ditch. Tampak pemasok oksigen berupa rotor, yakni mammoth rotor yang dipasang melintang terhadap arah aliran air limbah, sedang berputar sambil memasukkan oksigen. Percikan air yang kontinyu terjadi inilah yang memudahkan oksigen masuk ke dalam air dan memberikan tambahan oksigen bagi bakteri. Motor pemutarnya berada di belakang kaki penulis.

Dilampirkan juga skema konfigurasi unit parit oksidasi aliran berkala dan aliran kontinyu. Aliran kontinyu selalu dilengkapi dengan secondary settling tank atau final clarifier, returned sludge dan excess sludge. Yang juga tidak boleh dilupakan adalah unit sludge drying bed yang dilengkapi dengan fasilitas filtrate chamber untuk menampung filtrat kemudian dialirkan ke grit chamber yang selanjutnya diolah lagi di parit oksidasi. Hanya saja, faktanya di lapangan, kebanyakan IPAL (juga IPAM yang complete treatment) tidak dilengkapi dengan pengering lumpur ini dengan berbagai alasan.*

Monday, March 30, 2009

Adsorpsi Karbon Aktif


Majalah Air Minum, Februari 2009.

Sungguh beruntung PDAM yang berada di Pulau Jawa dibandingkan dengan yang di Kalimantan dan Sumatera. Secara kualitas fisika, sumber air PDAM di Jawa lebih banyak mengandung padatan tersuspensi dan koloid yang relatif mudah diolah dengan teknologi koagulasi, flokulasi. Lain halnya di Kalimantan, airnya mengandung gambut yang sulit diolah lantaran kaya asam-asam humat. Banyak warga setempat terutama di desa dan pedalaman yang terpaksa minum air berwarna karena belum dipasok oleh PDAM juga belum ada bantuan pemerintah dalam penyediaan air minum. Air di daerah rawa ini logikanya tidak bisa dimanfaatkan secara langsung sebelum diolah kecuali terpaksa karena tiada lagi alternatif sumber air lainnya.

Warna Air
Air yang ada di rawa-rawa biasanya berwarna sehingga tidak layak dimanfaatkan secara langsung sebelum diolah untuk keperluan domestik dan industri. Penyebab warnanya adalah pelapukan (dekomposisi) zat organik seperti daun, kayu, binatang mati dan lain-lain. Asam humat yang berasal dari dekomposisi lignin inilah penyebab warna air, selain besi dalam wujud ferric humat. Secara umum dapat dikatakan, penyebab warna air ialah kation Ca, Mg, Fe, Mn. Oksida besi ini menyebabkan air berwarna kemerahan, oksida mangan menyebabkan air berwarna coklat kehitaman.

Berkaitan dengan warna tersebut, jenisnya dapat dibedakan menjadi dua. Yang pertama disebut warna asli (true color), disebabkan oleh materi organik berukuran koloid dan terlarut (dissolved solid). Contohnya air gambut. Dari hasil penelitian diketahui bahwa warna air gambut di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi dapat dihilangkan dengan kombinasi koagulan alum sulfat, besi sulfat (ion trivalent) atau PAC dengan tanah liat setempat. Yang kedua ialah warna palsu (apparent color). Jenis ini disebabkan oleh zat tersuspensi dan zat terendapkan (coarse solid, partikel kasar) dan dapat dihilangkan dengan proses sentrifugasi, sedimentasi dan filtrasi.

Secara alamiah air permukaan selalu kelihatan berwarna walaupun sebenarnya tidak berwarna. Pada saat hujan misalnya, sungai kelihatan berwarna coklat kemerahan karena mengandung suspensi lempung (red clay). Warna air permukaan juga dapat disebabkan oleh air limbah industri seperti pada proses dyeing di pabrik tekstil dan pulping di pabrik kertas, pertambangan/mining, refining/kilang minyak, industri makanan-minuman dan kimia. Dye wastes atau dye stuff adalah penyebab warna yang sangat tinggi. Bubur kayu (pulping wood) juga menghasilkan turunan (derivative) lignin yang tahan terhadap pengolahan biologi (biological treatment seperti activated sludge).

Air yang berwarna karena pembusukan zat organik di rawa tidaklah beracun atau tidak berbahaya. Dampaknya hanya pada estetika yang tidak bisa diterima oleh masyarakat karena mereka lebih menyukai air yang tidak berwarna (colorless, non-colored water). Warna alami air ini kuning-kecoklatan (yellow-brownish) seperti air seni (urine) sehingga tidak disukai oleh pelanggan PDAM. Yang patut dikhawatirkan, karena PDAM menggunakan kaporit sebagai desinfektan maka ada potensi pembentukan senyawa CHCl3 atau chloroform atau trihalomethane penyebab kanker (carcinogenic).

Mekanisme Adsorpsi
Adsorpsi ialah pengumpulan zat terlarut di permukaan media dan merupakan jenis adhesi yang terjadi pada zat padat atau zat cair yang kontak dengan zat lainnya. Proses ini menghasilkan akumulasi konsentrasi zat tertentu di permukaan media setelah terjadi kontak antarmuka atau bidang batas (paras, interface) cairan dengan cairan, cairan dengan gas atau cairan dengan padatan dalam waktu tertentu. Contohnya antara lain dehumidifikasi, yaitu pengeringan udara dengan desiccant (penyerap), pemisahan zat yang tidak diinginkan dari udara atau air menggunakan karbon aktif, ion exchanger untuk zat terlarut di dalam larutan dengan ion dari media exchanger. Artinya, pengolahan air minum dengan karbon aktif hanyalah salah satu dari terapan adsorpsi.

Atas dasar fenomena kejadiannya, adsorpsi juga dibedakan menjadi tiga macam. Yang pertama disebut chemisorption, terjadi karena ikatan kimia (chemical bonding) antara molekul zat terlarut (solute) dengan molekul adsorban. Adsorpsi ini bersifat sangat eksotermis dan tidak dapat berbalik (irreversible). Yang kedua, adsorpsi fisika (physical adsorption, terjadi karena gaya tarik molekul oleh gaya van der Waals dan yang ketiga disebut ion exchange (pertukaran ion), terjadi karena gaya elektrostatis.

Bagaimana terjadinya fenomena adsorpsi itu? Ahli pengolahan air membagi adsorpsi menjadi tiga langkah, yaitu (1) makrotransport: perpindahan zat pencemar, disebut juga adsorbat (zat yang diadsorpsi), di dalam air menuju permukaan adsorban; (2) mikrotransport: perpindahan adsorbat menuju pori-pori di dalam adsorban; (3) sorpsi: pelekatan zat adsorbat ke dinding pori-pori atau jaringan pembuluh kapiler mikroskopis.

Ada sejumlah hal yang mempengaruhi efektivitas adsorpsi, yaitu: (1) jenis adsorban, apakah berupa arang batok, batubara (antrasit), sekam, dll; (2) temperatur lingkungan (udara, air, cairan): proses adsorpsi makin baik jika temperaturnya makin rendah; (3) jenis adsorbat, bergantung pada bangun molekul zat, kelarutan zat (makin mudah larut, makin sulit diadsorpsi), taraf ionisasi (zat organik yang tidak terionisasi lebih mudah diadsorpsi). Berdasarkan jenis adsorbatnya, tingkat adsorpsi digolongkan menjadi tiga, yaitu lemah (weak), terjadi pada zat anorganik kecuali golongan halogen (salah satunya adalah klor). Adsorpsi menengah (medium), terjadi pada zat organik alifatik dan adsorpsi kuat (strong) terjadi pada senyawa aromatik (zat organik yang berbau (aroma) dengan struktur benzena, C6H6).

Karbon Aktif
Salah satu adsorban yang biasa diterapkan dalam pengolahan air minum (juga air limbah) adalah karbon aktif atau arang aktif. Arang ini digunakan untuk menghilangkan bau, warna, dan rasa air termasuk ion-ion logam berat. Karena merupakan fenomena permukaan maka semakin luas permukaan kontaknya makin tinggilah efisiensi pengolahannya. Syarat ini dapat dipenuhi oleh arang yang sudah diaktifkan sehingga menjadi porus dan kaya saluran kapiler. Yang belum aktif, ruang kapilernya masih ditutupi oleh pengotor berupa zat organik dan anorganik.

Bagaimana proses pembuatannya? Tahap pertama, buatlah arang misalnya dari tempurung kelapa (arang batok, Cocos nucifera), kayu, batubara, merang, sekam, atau serbuk gergaji. Arang ini kemudian diaktifkan dengan cara pemanasan pada kondisi sedikit oksigen agar hidrokarbonnya lepas. Hasilnya berupa arang yang sangat porus sehingga luas permukaannya besar. Setelah itu barulah digunakan untuk mengolah air minum atau air buangan, misalnya memisahkan pencemar organik dan inorganik seperti air raksa, krom, atau untuk deklorinasi (pengurangan klor di dalam air).

Relatif mudah membuat filter arang aktif ini. Penjual filter skala rumah tangga di kota dan desa sudah biasa membuatnya bahkan tanpa berlatar pendidikan teknik. Hanya perlu keterampilan dan tahu sedikit tentang fungsi arang aktif dan kapan harus diganti. Bahkan penjual filter ini bisa memiliki pelanggan setia untuk reparasi dan perawatan filter yang dibeli oleh warga. Selain menggunakan arang butir (granular) berdiameter 0,3 - 0,5 mm atau 1 – 2 mm, arang bubuk, serbuk atau tepung (powder) pun dapat diterapkan.

Variasi Teknologi
Teknologi sederhana dalam penerapan arang aktif dengan cara pembubuhan. Arang bubuk dimasukkan ke dalam air yang diolah setelah dibuatkan suspensinya. Proses adsorpsi terjadi cepat apabila zat yang diadsorpsi berada di dekat arang aktif. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memperkecil diameter karbon, menjadi 50 mikron lalu diaduk. Apabila pengolahan airnya menggunakan slow sand filter (SSF), pembubuhan arang dilakukan sebelum unit filter. Menurut Nur Muhammad et.all, SSF efektif untuk menghilangkan logam berat (heavy metal) (International Conference on Water Supply and Sanitation, Durban, South Africa, 1997). Jika ada proses koagulasi – flokulasi, pembubuhan dilakukan sesudah koagulator agar serbuk arangnya bersatu dengan flok di dalam flokulator kemudian diendapkan di sedimentor.

Lain halnya pada unit filter arang butir (granular activated carbon). Unit ini berupa filter berbentuk kolom dengan variannya seperti pada Gambar 1. Penjelasannya sbb: (1) media statis tunggal (single fixed bed); media arang dipasang dalam bentuk satu tabung saja. Cara ini rendah efisiensinya. (2) media statis seri (fixed bed in series); efisiensinya sudah meningkat. Makin banyak unit yang dipasang makin besarlah efisiensinya. (3) media dinamis (moving, pulse, fluidized, dispersed bed); arang bergerak dinamis di seluruh bagian kolomnya sehingga adsorpsinya besar. (4) media statis paralel (fixed bed in parallel); cara ini ditempuh untuk menghasilkan debit yang besar dalam tempo singkat. Kualitas air olahannya tak jauh beda dengan media statis tunggal. (5) media ekspansi (upflow expanded bed); disusun secara seri dengan aliran ke atas dan waktu operasinya lebih lama.

Masalah utama yang muncul pada varian filter karbon aktif statis tersebut ialah sumbatan (clogging) akibat suspensi yang ada di dalam air. Untuk menanggulanginya biasanya unit ini dilengkapi dengan pencuci permukaan media (surface washer) dengan air dan udara. Namun tipe expanded dan fluidized bed, yaitu aliran dari bawah ke atas bisa mencegah potensi penyumbatan dengan pengaturan kecepatan aliran airnya. Variasi lainnya dengan mode operasi yang berbeda dapat saja bermunculan seiring dengan penelitian terbaru di bidang teknologi adsorpsi ini.*
posted by Gede H. Cahyana @ 3/30/2009 05:05:00 PM 0

0 komentar:



Posting Komentar