Perempuan Yang Bangkit Kembali
Apa yang terjadi ketika perempuan terlibat dalam mengambil keputusan?
Melakukan tindakan-tindakan politis? Turut berjibaku di medan
pertempuran? Terlibat dalam mengelola pemerintahan? Novel
berjudul `Perempuan Keumala' menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Novel ini berlatar sejarah kerajaan Darud Donya di Aceh
Darussalam.
Penulis novel ini, Endang Moerdopo, betutur tentang perjuangan
seorang perempaun yang menjadi laksamana laut pertama di Indonesia,
bahkan pertama di dunia. Laksamana Malahayati, tokoh utama dalam
cerita ini, berjuang mempertahankan kedaulatan kerajaan Darud Donya
dari penghianatan yang dilakukan oleh bangsa sendiri maupun
pembodohan yang dilakukan bangsa asing.
Lompatan yang dibuat Endang pada bagian awal dan akhir novel ini
memperindah struktur dan alur penulisannya. Pada bagian awal ia
mengisahkan tentang tokoh rekaan bernama Hira yang 'keranjingan'
dengan karakter Laksamana Malahayati. Sementara pada bagian akhir,
Endang melukiskan tokoh imajiner Laksamana Malahayati yang getir
melihat kondisi negeri.
Keumala, nama kecil Laksamana Malahayati, ia merupakan keturunan
orang kaya (istilah untuk bangsawan di masa itu). Masa remajanya
dihabiskan dengan menimba ilmu kemiliteran di Ma'had Baitul Maqdis.
Semasa pendidikan militernya, ia bertemu kembali dengan sahabat
kecilnya, Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief. Seusai pendidikan
iliter, Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief menikahi Keumala.
Keluaraga ini dianugerahi seorang anak perempuan bernama Cut Dek.
Pada masa itu, Laksamana Malahayati merupakan Komandan Protokol
Kerajaan Darud Donya. Tugas-tugas protokoler ia laksanakan dengan
penuh pengabdian. Sementara suaminya, menjabat sebagai panglima
Armada Selat Malaka.
Pertempuran dengan Portugis di Selat Malaka merenggut nyawa sang
suami. Laksamana Malahayati sangat terpukul dengan peristiwa
tersebut, walaupun Baginda Sultan Mansur Syah segera mengangkat
Laksamana Malahayati sebagai pengganti suaminya. Kedukaan Laksamana
Malahayati semakin mendalam ketika putri satu-satunya diculik.
Pengkhianatan dan persekongkolan para Orang Kaya telah membuat
jantung kerajaan Darud Donya keropos, digerogot dari dalam dan
ditohok dari luar.
Pada kondisi inilah Laksamana Malahayati muncul dengan ide untuk
membuat Armada Inong Balee, Pasukan para janda. Pasukan ini terdiri
atas janda-janda yang suaminya tewas di medan peperangan. Laksamana
Malahayati bercucuran keringat dan mandi perasaian untuk membuat
pasukan ini menjadi pasukan tempur yang tangguh. Bersama Armada
Inong Balee pula ia kemudian berhasil membunuh Cornelis de Houtman.
Novel berlatar sejarah ini begitu mengesankan diramu oleh Endang
Moerdopo. Gaya bahasa yang ke-melayu-melayu-an mempercantik alur
maju mundur penuturannya. Endang begitu cerdas melakukan manuver
melalui plot-plotnya yang pendek. Walaupun secara jujur harus diakui
bahwa novel ini kurang merangsang imajinasi pembacanya.
Dalam novel ini, Endang fasih bercerita tentang berbagai hal,
termasuk tentang mantra Tapak Tuan, benteng inong balee, struktur
kerajaan Darud Donya, para orang kaya. Novel ini juga diperkuat
dengan petikan sair, puisi serta lafaz al-Qur'an.
Selain itu, Endang juga menggambarkan bagaimana budaya jilat-
menjilat, adu domba, kolusi, korupsi dan nepotisme sudah ada sejak
zaman dahulu.
2 tahun waktu yang dibutuhkan Endang untuk melahirkan novel ini.
Banyak fakta sejarah yang kemudian ditata secara apik. Banyak pula
pelajaran tentang peranan perempuan dalam mengelola pemerintahan,
perang, melahirkan, manyusui dan membesarkan generasi penerus,
mendampingi suami dan lainnya.
Perempuan bisa menjadi manusia paling ganas di medan perang,
sekaligus juga lembut dan penuh kasih dalam kesehariannya. Tak dapat
disangkal bila Prof. DR Meutia Hatta Swasono memberikan
komentar "Buku ini juga mengungkapkan bahwa bila perempuan diberi
kesempatan untuk berpartisipasi dan mengambil keputusan, ternyata
mampu memilih untuk berjuang dengan gagah berani tanpa meninggalkan
kelembutan hati, kasih sayang, dan naluri seorang perempuan sejati".
Ungkapan tersebut mestinya menjadi pelecut yang sangat kuat bagi
seluruh perempuan Indonesia untuk bangkit dan berdiri sejajar dengan
laki-laki.
Kita yang hari ini hidup dan terkekang dalam sistim yang sarat dengan
kepentingan, mestinya dapat belajar banyak dari novel Endang Moerdopo
ini. Novel ini pula, tentunya memperkaya khasanah dan cara pandang
kita terhadap kesetaraan tersebut.
Sudah saatnya bila kesetaraan antara laki-laki dan perempuan menjadi
perpektif dlam kehidupan. Bangkitlah dari lelap, tegaklah dalam
kebersamaan dan melangkahlah beriringan wahai perempuan Indonesia.
Perempuan Keumala
Endang Moerdopo
Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
September 2008
Sumber:
http://syafrizaldi.multiply.com/reviews/item/13
------------------------------------
Situsnya Penulis! http://www.penulislepas.com :)
0 komentar:
Posting Komentar