Meraih cita
Oleh : Radinal Mukhtar Harahap
Kekuatan Cita-Cita
Ketika saya masih mengenyam pendidikan di pondok pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan, ada kebiasaan menarik yang diajarkan oleh para asatidz dan ustadzah disaat "jumpa pertama" di kelas masing-masing. Para santri dan santriwati akan ditanya tentang cita-cita mereka. Ada yang ingin menjadi dokter, polisi, pengusaha, pegawai negeri, bahkan menjadi presiden. Setelah menyampaikan cita-cita tersebut, santri dan santriwati disuruh mencatatnya pada sebuah kertas karton.
Pada saat jumpa kedua dan seterusnya, karton tersebut harus selalu dibawa dan ditaruh di meja masing-masing. Bagaikan masuk ke sebuah kantor, para asatidz dan ustadzah akan melihat di depan para santri telah berdiri tegak sebuah karton yang ditulis sebuah cita-cita. Dan pada saat itu saya menuliskan kata penulis.
Mengapa saya mengatakan ini adalah kebiasaan menarik? Karena ketika saya telah "menyelesaikan" pendidikan formal di pesantren dan bergabung dengan teman-teman dari pesantren seluruh Indonesia saya tidak mendapatkan hal yang demikian. Bahkan ketika ada teman yang ditanya tentang apakah cita-citanya, ia dengan santai mengatakan bahwa dirinya belum memikirkan sebuah cita-cita.
"Gantunglah Cita-Citamu Setinggi Langit!" itulah yang sering disampaikan Ibu kepada saya dahulu. Walaupun dengan redaksi yang berbeda, saya yakin seluruh orang tua ingin anak-anaknya menggapai cita-citanya yang setinggi langit.
Mengenai hal ini, saya teringat dengan sebuah tulisan Redi Panuju dalam buku "Menulislah Dengan Marah" yang bercerita tentang seorang tua bangka yang bekerja sebagai pengangkut sampah. Ketika itu, Redi Panuju kasihan dan ingin memberikan sejumlah uang kepada Pak Tua tersebut. Tetapi apa sangka, Pak Tua tersebut menolak pemberian Redi Panuju. Ketika diajak bercerita, Pak Tua tersebut mengatakan bahwa walaupun ia bekerja sebagai pengangkut sampah, tetapi anaknya telah sukses menyelesaikan pendidikannya hingga perguruan tinggi. Kebaikan tidak mesti berorientasi kepada diri sendiri melainkan kepada orang lain.
Arti Penting Sebuah Cita-Cita
Dalam Sang Pemimpi, Andrea Hirata menuliskan perkataan Arai dengan untaian yang indah. Bermimpilah! Maka Tuhan Akan Memeluk Mimpi-Mimpi Itu. Mimpi yang dimaksud dalam kata-kata itu bukanlah mimpi disiang bolong dengan air liur yang mengalir membasahi pipi. Bukan pula mimpi buruk yang menghantui dan merasuki mereka yang tidur. Mimpi tersebut adalah cita-cita. Cita-cita yang tinggi yang diorientasikan pada sebuah keinginan luhur membantu masyarakat sekitar.
Sampai saat ini, setidaknya saya mendapatkan beberapa manfaat dari sebuah cita-cita. Banyak memang yang mengatakan bahwa jika kita hidup dengan sebuah cita-cita dan ternyata gagal mencapainya, kita akan stress bahkan gila dan berujung pada sebuah kematian. Tapi, hingga saat ini, saya lebih dapat merasakan nikmatnya bercita-cita daripada hidup bagai air mengalir, tak jelas arahnya.
Manfaat pertama, hidup akan menjadi semakin terarah. Ketika seseorang bercita-cita ingin menjadi seorang dokter, tentulah ia akan melaksanakan segala sesuatu untuk mewujudkan cita-citanya. Rajin belajar mengenai ilmu pengetahuan alam. Masuk fakultas kedokteran dan lain sebagianya. Jika ada orang yang bercita-cita ingin menjadi dokter tetapi kerjaannya hanyalah tidur dan makan, niscaya ia tidak akan menggapai cita-citanya.
Kedua, yang saya rasakan adalah betapa nikmatnya sebuah cita-cita bila telah kita raih walaupun dengan sebuah perjuangan yang menyakitkan. Kiranya saya dapat berbagi pengalaman ketika masih mengenyam pendidikan di pesantren Ar-Raudhatul Hasanah.
Kebiasaan di pesantren, ketika ada santri yang akan lulus dari pendidikan formal, adalah membuat acara perpisahan sebagiamana kebiasaan di sekolah-sekolah lainnya. Bedanya, pada acara perpisahan ini, tidak hanya santri yang akan berpisah yang "wajib" menghadiri, tetapi santri-santri junior yang masih dalam masa pendidikan bahkan yang baru mulai pendidikan pun harus menyaksikan santri-santri yang akan berpisah.
Saat itu, saya masih duduk di bangku kelas satu dan artinya saya adalah santri yang baru mulai pendidikan. Ada satu acara yang membuat hati saya tersentuh. Santri yang berprestasi mendapatkan beasiswa dan disuruh maju kedepan panggung. Dihadapan seluruh santri dan santriwati, para asatidz dan ustadzat, wali santri dan juga tamu undangan, santri yang berprestasi tersebut akan diberikan beasiswa. Begitu mengharukan.
Sejak saat itulah, saya bercita-cita akan menjadi salah satu dari tiga santri yang berprestasi di akhir pendidikan. Sekali lagi, saya bercita-cita untuk berprestasi di akhir pendidikan. Wal hasil, disaat masa-masa pendidikan, saya bukanlah orang yang berprestasi gemilang. Saya tidak pernah mendapatkan juara kelas. Toh, saya sudah bercita-cita hanya akan berprestasi di akhir pendidikan saja.
Untuk mewujudkan itu semua, pelajaran-pelajaran yang diajarkan saya serap untuk diajarkan kembali kepada teman-teman yang belum memahami. Setiap malamnya, saya hampir dipastikan menjadi langganan teman-teman untuk menjelaskan pelajaran yang dipelajari siang harinya. Bahkan tidak jarang, satu judul pelajaran saya jelaskan sepuluh bahkan lima belas kali dalam satu malam.
Hasilnya ketika ujian semesteran berlangsung, saya hanya memahami apa yang saya jelaskan kepada teman-teman. Tidak semua sub bab pelajaran yang saya pelajari. Akhirnya saya tidak mendapat juara kelas. Seorang ustadz pernah berkata, "Radinal! Kenapa kamu tidak menjadi juara kelas padahal kamu bisa memahami pelajaran lebih cepat dari teman-temanmu?"
Begitulah, hingga akhirya pada saat ujian akhir, apa yang saya tanam siap untuk di panen. Saya tidak bersusah payah untuk mempelajari pelajaran-pelajaran kelas satu sampai enam sebagaimana teman-teman. Toh, semuanya telah melekat dikepala saya karena seringnya diulang. Bagaikan guru, saya hanya membutuhkan pengulangan-pengulangan sejenak dan sekilas. Dan saya pun menjadi alumni terbaik sesuai dengan apa yang saya cita-citakan. Begitu indah ketika kita dapat menggapai apa yang kita cita-citakan.
Jangan Takut Bercita-cita
"Saya mau hidup seperti air saja. Mengalir apa adanya sesuai dengan kebutuhan!"
"Setiap orang kan berbeda-beda. Kalau saya orangnya tidak mau terikat dengan sebuah cita-cita. Hanya menjadi beban pikiran saja!"
"Saya tidak mau bercita-cita. Nanti seperti caleg. Tidak menggapai yang dicita-citakan, akhirnya gila dan stress!"
Pernyataan-pernyataan sebagaimana diatas sangat sering kita temui dalam keseharian kita. Benarkah cita-cita itu membebani sehingga kita pantas untuk takut bercita-cita?
1) Cita-cita adalah motivasi terbesar. Sebagaimana yang telah saya tuliskan tadi, seorang yang bercita-cita untuk menjadi dokter akan terdorong motivasinya untuk berjuang menjadi dokter. Ia akan belajar sungguh-sungguh. Mempelajari hal-hal yang berkaitan dengna kedokteran. Mendaftar di fakultas kedokteran. Dan lain sebagainya. Bukankah itu adalah motivasi terbesar?
2) Cita-cita adalah niat yang luhur. Dalam islam, niat adalah hal yang musti dilakukan. Bahkan ada hadis yang mengatakan bahwa amalan seorang hamba didasarkan pada niatnya. Lihatlah niat setiap ibadah, diakhir niat ada "cita-cita" luhur yaitu "lillahi ta'ala". Begitu juga dengan sebuah cita-cita. Dengan memproklamirkan cita-cita kita telah berniat untuk berbuat hal yang baik. Bukankah hal yang baik itu baik?
Tunggu apalagi. Saya bercita-cita menjadi penulis, motivator, dan public speaker. Bagaimana dengan anda?
Radinal Mukhtar Harahap
(http://kumpulan-q.blogspot.com dan http://belajarotodidak.tk)
.............
Saya copy paste dari email yang masuk dari penulislepas.com
0 komentar:
Posting Komentar