MENULIS SEPERTI AIR


MENULIS SEPERTI AIR

Oleh: Udo Yamin Majdi




Dalam tulisan sebelumnya —Klik: Malas, Kok Dipelihara?—
saya menjelaskan tentang paradigma bahwa menulis itu sangat gampang, atau
sebaliknya, sangat sulit, akan membuat kita malas, bosan, buntu, bahkan tidak
mau menulis sama sekali. Ini kita kenal dengan writer block. Lalu,
bagaimana solusinya?

Solusinya adalah miliki paradigma khusyu' dalam menulis!
Apa itu paradigma khusyu'? Secara sederhana, paradigma khusyu' adalah cara kita
memandang aktivitas menulis secara objektif, bahwa dalam menulis itu pasti ada
kesulitan dan kemudahan, serta tingkat kesulitan dan kemudahan itu berbanding
lurus dengan seberapa besar kita mencintainya, mendisiplinkan diri untuk
melakukannya, dan memfokuskan diri pada proses, bukan pada buah dari tulisan
kita.

Untuk membedah paradigma khusyu' tersebut, saya akan
meminjam pisau analisis Daniel Goleman. Dalam bukunya, Emotional Goleman,
dia menyebutkan bahwa flow merupakan puncak kecerdasan emosional. Apa itu flow?

Flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap
ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus kepada
pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan. Ciri khas flow, diantaranya
adalah perasaan kebahagiaan spontan, bahkan keterpesonaan.

"Berada dalam suatu keadaan ekstase sampai di suatu
titik", cerita seorang komposer saat menceritakan pengalamannya dalam buku
itu, "di mana Anda merasa seolah-olah hampir tidak nyata. Saya pernah
mengalami hal ini berulang kali. Seakan-akan tangan saya bukan lagi milik saya,
dan saya merasa tidak melihat apa-apa. Saya hanya duduk mematung seraya
menonton dalam keadaan takjub dan kagum. Gubahan itu seorang-olah mengalir
dengan sendirinya."

Cerita komposer itu ternyata sama dengan yang diungkapkan
ratusan orang yang berlatar belakang berbeda —pendaki gunung, juara catur, ahli
bedah, pemain bola, basket, insinyur, manajer, bahkan para penulis— berdasarkan
penelitian Mihally Csikszentmihalyi selama dua puluh tahun. Ahli psikologi
Universitas Chicago itu, menyebut "zona" atau keadaan ketika
keunggulan dapat dicapai dengan tanpa kerja keras tersebut, dengan istilah
flow.

Kita pun pernah mendengar kisah serupa yang terjadi pada
Khalifah Ali bin Abi Thalib, ketika beliau terkena panah. Beliau meminta
sahabatnya untuk mencabut panah tersebut saat beliau sedang sholat. Beliau
tidak merasakan apa-apa tatkala anak panah dengan paksa dicabut merobek
tubuhnya. Itu terjadi karena beliau sangat khusyu' melakukan sholat.

Atau, Anda pun pernah mengalaminya, sewaktu Anda
terhanyut di depan komputer. Anda berubah seperti orang autis: Anda asik dengan
dunia Anda sendiri, Anda tidak menatap lawan bicara saat diajak bicara, Anda
tertawa atau menangis sendirian, bahkan Anda terkadang baru menjawab setelah
selesai "berselancar" di internet dan Anda berkata dengan teman di
samping Anda: "Eh, kamu tadi nanya apaan sih?" Nah, kurang lebih
seperti itulah flow atau khusyu' itu, yaitu ketika kita kehilangan kesadaran
akan ruang dan waktu.

Dalam aktivitas menulis, flow atau khusyu' itu, sering
terjadi pada para penulis senior atau profesional yang memiliki jam terbang
tinggi dan sangat jarang dialami oleh penulis pemula. Mengapa? Sebab,
sebagaimana saya sebutkan dalam tulisan sebelumnya —Malas Kok Dipelihara?—
bahwa para pemula itu sering meremehkan; hanya sekedar bisa berkata: "Ah,
kalau menulis seperti ini, saya pun bisa!", atau sebaliknya, mereka
menganggap menulis itu sangat sulit, sehingga mereka kurang percaya diri,
bahkan putus asa, sehingga sering melakukan rasionalisasi, pembenaran terhadap
sebuah kesalahan atau kelemahan, mereka berkata: "Ah, saya enggak ada
bakat!, Saya sibuk, tidak ada waktu!, Saya sudah terlalu tua untuk mulai
belajar menulis!, dan seterusnya.

Berbeda dengan para penulis profesional. Mereka sangat
sadar bahwa menulis itu sangat sulit manakala hanya sekedar
"dipikirkan" saja, tanpa pernah mencobanya. Mereka sangat yakin
menulis itu sangat mudah, ketika mereka telah menguasainya. Mereka berusaha
objektif dalam memandang aktivitas menulis; tanpa imbuhan; tanpa
menutupi-nutupi kesulitan dan kemudahan. Mereka berusaha melakukan hal yang
mudah dan bertekad untuk menyelesaikan hal yang sulit.

Mereka lakukan itu seperti air: terus mengalir. Ketika
air tersumbat tidak tersalurkan, bukan berarti air itu berhenti untuk mengalir,
melainkan sedang mengumpulkan kekuatan. Dari hari ke hari, air itu semakin
banyak dan berusaha mencari celah untuk mengalir. Air dalam bendungan itu
menunggu momentum. Sekecil apapun mementum itu. Ketika air itu menemukan celah
kecil, ia akan merembes. Ketika menjumpai lubang, ia akan memancar. Apalagi
bila menemukan pintu keluar, maka akan mengalir tanpa henti. Mengalir tanpa
henti inilah yang kita sebut flow atau khusyu'.

Lantas, bagaimana cara kita akan flow atau khusyu' dalam
menulis? Sebenarnya, banyak cara untuk mencapai flow menulis —sebanyak jumlah
keunikan setiap individu—, namun saya hanya ingin menjelaskan tiga cara ini:

1. Mencintai tanpa syarat.

Ketika kita membutuhkan aktivitas menulis seperti
kebutuhan kita terhadap udara, air, dan makanan, maka inilah salah satu tanda bahwa
kita telah mencintai dunia kepenulisan. Atau kita merasakan bahagia saat
menulis melebihi, atau minimal sama, kebahagiaan seseorang bertemu dengan
kekasihnya, maka ketahuilah bahwa kita sebenarnya sudah jatuh cinta pada dunia
menulis.

Sebaliknya, meskipun Anda berkata: "Saya sangat
mencintai dunia kepenulisan!", namun tatkala diminta menuliskan sesuatu
Anda merasa seperti ada tujuh lapis langit menghimpit jiwa Anda, berarti cinta
Anda itu adalah dusta. Apalagi, bila Anda tidak pernah mau melakukannya, maka
siap-siaplah Anda akan bercerai dari dunia kepenulisan.

Cinta ada dalam hati. Hati tempat emosi kita. Emosi dalam
bahasa latin artinya yang "menggerakkan". Oleh sebab itu, orang
mencintai aktivitas menulis, akan bergerak sendiri untuk menulis, tanpa harus
dimotivasi orang lain atau oleh sesuatu. Mereka tetap bergerak meskipun berada
dalam dunia sunyi.

Dalam kitab Qa'idah fi al-Mahabbah, Ibnu Taimiyah
menegaskan bahwa semua gerakan di alam semesta ini, bermula dari al-mahabbah
(cinta) dan al-iradah (keinginan). Begitu juga hal dalam menulis, menurut saya,
yang menggerakkan para penulis adalah cinta. Cuma satu sama lainnya, berbeda
dalam jenis dan kadar cinta. Ada yang menulis karena cinta Allah dan rasul-Nya.
Ada juga yang menulis karena cinta harta, pupuleritas, dan hal-hal yang duniawi
saja.

Kemampuan kita menemukan cinta dalam menulis, memilih
jenis cinta, dan keahlian dalam meningkatkan kadar cinta itu, akan menentukan
flow atau tidaknya kita dalam menulis. Kita akan semakin flow, manakala kita
mencintai menulis tanpa syarat. Dari studi kasus Csikzentmihallyi terhadap 200
seniman setelah 18 tahun mereka lulus dari sekolah seni, ternyata yang
benar-benar menjadi penulis adalah para mahasiswa menikmati kebahagiaan melukis
itu sendiri. Sedangkan mereka yang mengejar mimpi ketenaran dan kekayaan,
mereka melenceng jauh dari dari seni setelah mereka tamat.

Dan itu pun, saya temukan —dari pengalaman memberikan
pelatihan menulis selama tujuh tahun lebih— rata-rata para peserta yang begitu
semangat menjadi "penulis", mereka tidak menjadi penulis. Sebaliknya,
peserta yang yang melakukan aktivitas menulis karena mereka hanya ingin
menyalurkan hobi menulis, akhirnya mereka benar-benar menjadi penulis handal.

2.
Mendisiplinkan diri.

Betapa banyaknya orang yang gagal menjadi penulis,
meskipun pada awalnya —terutama setelah mengikuti acara pelatihan, workshop,
sekolah menulis— mereka sangat semangat menulis, sebab mereka tidak mau
mendisiplinkan diri. Disiplin, menurut John C. Maxwell dalam buku The 17
Essential Qualities of Team Player, adalah mengerjakan apa yang tidak mau Anda
lakukan agar dapat mengerjakan yang Anda kerjakan. Atau, membayar harga dalam
hal-hal yang kecil agar Anda dapat membeli hal yang besar.

Dari penjelasan Steven R. Covey tentang prinsip ke-7:
Asahlah Gergaji Anda, saya terinspirasi mengenai cara kita mendisiplinkan diri.
Dalam buku The 7 Habits of Highly Effective People itu, dia mengatakan bahwa
manakala kita mendisiplinkan diri dengan cara: belajar, komitmen, dan berbuat,
secara terus menerus, maka kita akan tumbuh dan berkembang seperti spiral: dari
kecil semakin membesar.

Dalam menulis pun demikian, jika kita mendisplinkan diri
untuk belajar menulis di mana dan kapan
saja, komitmen untuk menulis setiap hari sesuai dengan target, dan berlatih secara
terus menerus tanpa henti, maka latihan akan menjadi kebiasaan, kebiasaan
menjadi kebutuhan, dari kebutuhan itu akan lahirlah flow sehingga emosi kita
begitu lentur untuk menuangkan ide atau gagasan seperti seperti para atlit yang
memiliki otot lentur untuk bertanding di lapangan.

3.
Memfokuskan diri pada proses, bukan pada hasil.

Sesederhana apapun tulisan, manakala kita tidak fokus,
maka tidak bisa kita selesaikan. Sekali dua kali berhenti di tengah jalan,
mungkin kita masih bisa mema'afkan diri kita sendiri. Namun bila keseringan,
itu akan membawa kita pada frustasi, dan akhirnya kita akan malas melakukannya
kembali.

Fokus adalah kunci dari flow atau khusyu'. Fokus nama
lain dari konsentrasi tinggi. Dan fokus atau konsentrasi tinggi ini, tidak
hanya kita butuhkan untuk menulis saja, melainkan dalam semua pekerjaan kita. Misalnya,
dalam bela diri, kita mengenal "tenaga dalam". Rahasia tenaga dalam
itu ada pada konsentrasi, yaitu upaya mengumpulkan tenaga dalam satu titik.
Pengumpulan energi ini dapat kita buktikan melalui lensa yang mengumpulkan
cahaya matahari dalam satu titik sehingga bisa membakar kertas atau benda
kering lainnya. Dalam menulis pun kita butuh tenaga dalam atau titik fokus
cahaya itu.

Untuk mencapai konsentrasi tinggi itu, tidak dapat kita
raih, hanya sehari dua hari. Melainkan seperti kekhusyukan seorang ahli shalat
yang merupakan akumulatif dari hasil belajar sholat, pelaksanaan sholat, dan
pengalaman spitual selama belasan, bahkan puluhan tahun. Konsentrasi menulis
pun demikian. Kita tidak mungkin konsentrasi hanya sekedar mendengar penjelasan
tentang konsentrasi dalam pelatihan menulis, melainkan sebuah proses panjang jatuh
bangun kita, sehingga akhirnya kita menemukan cara kita sendiri untuk
konsentrasi dalam menulis.

Sebagaimana cara kita mencapai sholat khusyu', dalam
menulis pun kita memiliki "kiblat menulis", "rukun dan syarat
menulis", "adab menulis", baik itu yang berhubungan dengan
psikologis, fisik, fisiologis, maupun berhubungan dengan pakaian, ruang, dan
waktu. Sebagai contoh, Fauzil Adhim ketika menulis buku-bukunya tentang pernikahan,
beliau berusaha mandi terlebih dahulu, sholat dua raka'at seperti yang
dilakukan Imam Bukhari ketika menulis Shahih Bukhari, lalu beliau menebarkan
pewangi di kamar tempatnya menulis dan memasang bunga-bunga. Itu semua membantu
beliau konsentrasi menulis buku dengan bahasanya jernih, indah, dan romantis.
Atau, ketika Habiburrahman El-Shirazy menulis novel Ayat-Ayat Cinta, beliau
memasang peta Cairo di tempatnya menulis agar beliau terfokus menggambarkan
seting Mesir dalam novelnya.

Atau seperti Kang Arul yang punya ritual menulis: minum
secangkir kopi dulu, baru bisa menulis. Beda lagi dengan saya —Emha Ainun
Nadjib untuk memfokuskan diri sesuai dengan tulisan, beliau sering menulis di
atas kertas berbeda warna— saya kurang lancar menulis di program Microsoft
Word, melainkan di "Notepad". Saya sendiri heran, mengapa saya begitu
mengalir menulis di Notepad, sedangkan memakai program lain seakan-akan buntu.

Meskipun kerja saya dua kali, menulis di Notepad, baru
saya edit di Microsof Word, terlihat tidak efisien dan efektif, namun karena
ini membuat saya konsentrasi, maka sampai saat ini —termasuk dalam membuat
tulisan ini, saya masih menggunakan Notepad. Artinya, setiap orang akan berbeda-beda
dalam membangun konsentrasi menulis. Nah, tugas setiap individulah, menemukan
caranya masing-masing.

Selain tidak tahu cara membangun konsentrasi menulis
tersebut, ada satu sebab lagi yang membuat orang tidak konsentrasi menulis
sehingga mereka malas, bosan, dan buntu dalam menulis, yaitu mereka tidak fokus
pada proses menulis, melainkan pada hasil tulisannya. Mereka terlalu memikirkan
apakah tulisannya menarik atau tidak, atau apakah tulisannya bisa diterbitkan
atau tidak, dibandingkan bagaimana membuat sebuah tulisan berkualitas bagus..

Lebih parah lagi adalah bila mereka berpikir
perfeksionis, ingin sangat sempurna dan bagus sekali. Kesadaran untuk tidak ada
cacat itu, bukan membuat mereka melahirkan karya yang sempurna, malahan
sebaliknya, karya mereka penuh dengan kekurangan, sebab mereka membuatnya tidak
flow: dengan perasaan tertekan. Itu masih bagus, mereka berkarya, ada lagi yang
tidak "melakukan" aktivitas menulis, melainkan hanya berkutat dalam
"pikiran" mereka saja.

Al-hamdulillah, ternyata obrolan kita sudah terlalu lama.
Sebelum saya mengakhiri diskusi kita ini, saya ingin menegaskan kembali bahwa
paradigma kita terhadap aktivitas menulis sangat mempengaruhi semangat atau
tidaknya kita dalam menulis. Bila kita terlalu meremehkan atau terlalu
menganggap sulit, maka kita akan malas, bosan, atau buntu menulis. Oleh sebab,
menulislah dengan paradigma khusyu, alias flow: mengalir. Yah, solusi writer
block adalah menulis seperti air! Wallahu a'lam bish shawab.
Mesir, 14 April 2009

=======================================

WORD SMART CENTER adalah sebuah komunitas --online, offline, dan onair-- tempat belajar mengasah kecerdasan dalam berbahasa baik berbicara, mendengar, membaca, dan menulis dan bercita-cita membangun Indonesia Cerdas; Indonesia Mandiri; dan Indonesia Kreatif.

Bagi siapa saja berminat belajar mengasah kecerdasan berbahasa dan menjadi bagian dari pecinta buku, silahkan bergabung di milis wordsmartcenter@yahoogroups.com, atau kirim e-mail ke wordsmartcenter@yahoo.com, nanti kami invite.

...
Artikel ini saya petik dari E-mail yang datang dari Mills penulis lepas.com

0 komentar:



Posting Komentar