PUDARNYA PESONA BAHASA INDONESIA


Pudarnya Pesona Bahasa Indonesia


—artikel ini dimuat di Kompas, Senin 12 Januari 2009—


Apa jadinya, jika anak-anak muda anonim pencetus sumpah pemuda bangkit dari
kubur dan mendapati anak-anak muda sekarang saat bicara dan menulis
lebih suka nginggris, ketimbang menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar. Siswa sekolah pun, kini menempatkan bahasa Indonesia pada
nomor urut sepatu, tidak lagi menjadi pelajaran favorit. Tidak favorit
berarti tidak penting untuk dipelajari. Terbukti hasil ujian nasioanl
(UN) tiga tahun terakhir terus mengalami penurunan.

Untuk
tingkat SMP, nilai rata-rata UN bahasa Indonesia tahun 2006 adalah
7,46, tahun 2007 turun menjadi 7,39, dan tahun 2008 turun menjadi 7,00.
Untuk tingkat SMA jurusan bahasa nilai rata-rata bahasa Indonesia tahun
2007 adalah 7,40, kemudian tahun 2007 turun menjadi 7,08, dan tahun
2008 turun menjadi 6,56. Hal yang sama terjadi untuk SMA jurusan IPA
dan IPS.

Tak hanya itu, kurang favoritnya bahasa Indonesia juga
menyebabkan rendahnya minat siswa memilih jurusan bahasa Indonesia di
perguruan tinggi. Akibatnya jurusan Bahasa Indonesia di sejumlah
perguruan tinggi kekurangan mahasiswa, bahkan ada yang terancam
ditutup.
Menekuni beberan perangkaan di atas, barangkali benar,
kalau ada yang mengatakan pesona bahasa Indonesia telah memudar, dan
tak lagi sakti. Kalah dengan bahasa asing, terutama inggris dan
mandarin.

Guru bahasa dadakan
Beberapa asnad di atas juga
memunculkan pertanyaan penting: faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
pudarnya pesona bahasa Indonesia. Dan upaya seperti apa yang harus
dilakukan agar pesona itu hadir kembali.

Paling kurang, ada tiga
sebab yang mengakibatkan pudarnya pesona bahasa Indonesia. Pertama,
tidak seluruh siswa mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia dari guru
(sarjana) bahasa Indonesia. Dengan asumsi seorang sarjana bahasa tentu
mumpuni di bidang bahasa. Karena alasan kurangnya jumlah pengajar, guru
berkompetensi di luar rumpun bahasa, misalnya guru olahraga, fisika,
atau matematika terpaksa (dipaksa?) mengajar bahasa Indonesia.

Tak
masalah jika guru bahasa Indonesia dadakan itu tergolong seorang
munsyi—komprehensi ganda antara seorang dengan inklanasi kesukacitaan
berbahasa Indonesia, dan karena itu terpanggil untuk menguasainya, dan
seorang yang tertantang untuk menghasilkan bentuk bahasa tulis yang
kreatif dalam identitas kepujanggaan di atas sifat-sifat kedibyaan
budaya (Alif Danya Munsyi, 2005). Jika ternyata betul-betul mendadak
guru bahasa Indonesia, silakan Anda hitung sendiri, resiko ”kekacauan”
(kognisi, afeksi, psikomotorik) keberbahasaan yang bakal ditimbulkan.

Oleh
sebab itu, kalau memang secara kuantitas dan kualitas guru bahasa
Indonesia sudah mentok, tidak bisa ditingkatkan lagi, menurut hemat
saya, salah satu cara untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan
meminta para munsyi untuk turun gelanggang, mengajar siswa dan guru di
sekolah-sekolah.

Kedua, tujuan penilaian kurang dipahami
banyak pihak. Yang dikejar sekadar nilai akhir saja. Sudah begitu,
semata-mata bersifat kuantitatif. Padahal berbicara tentang bahasa
tentu akan berkaitan dengan ekspresi bahasa/praktik bahasa (aspek
kualitatif). Dari segi praktiknya, bahasa memunyai empat ranah
penguasaan. Sesuai dengan urutan tumbuh kembang manusia, yaitu aspek
mendengarkan (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan
menulis (writing).

Ketika mengikuti pembelajaran, mestinya siswa
juga didorong untuk mengaitkan apa yang telah mereka dapat dengan
pengalaman mereka sendiri saat menghabiskan jejulur waktu kehidupan.
Baik di sekolah, rumah, maupun lingkungan pergaulan. “Ketika para siswa
dapat mengaitkan isi dari matapelajarannya dengan pengalaman mereka
sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk
belajar,” tulis Elaine B. Johnson dalam Contextual Teaching and
Learning. Pandangan Elaine ini menegaskan bahwa siswa akan memiliki
motivasi belajar jika mereka diminta “mengaitkan” bukan sekadar
menghafal.

Ketiga, bahasa Indonesia , ibarat produk, ia lebih
sering ditawarkan secara inferior. Tidak dikemas bagus, tapi ala
kadarnya, monoton, sehingga siswa sebagai konsumen tidak tertarik
membeli. Guru sebagai pemasar tidak mampu menyakinkan kepada calon
pembeli, bahwa produk yang dibawanya itu penting dan penuh manfaat.
Cara-cara pemasaran yang digunakan juga masih tradisional.

Maka
dari itu, perlu satu terobosan baru tentang bagaimana mengemas
pembelajaran bahasa Indonesia agar menarik sehingga menerbitkan rasa
cinta, dan semangat belajar. Kalau para siswa cinta, mereka akan
memberikan perhatian tinggi terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia,
melebihi yang kita harapkan.

Terobosan baru itu misalnya, dari
aspek writing dapat memanfaatkan blog sebagai ruang kreatif siswa.
Tabiat asli blog yang bersifat personal, akan memampukan mereka menulis
tentang apapun yang mereka suka, sepanjang apapun yang mereka mampu.
Dalam ranah listening, reading, dan speaking, siswa juga secara
langsung dapat dikenal dan sentuhkan pada dunia yang sangat erat
kaitannya dengan bahasa Indonesia, yaitu dunia literasi
(keberaksaraan). Lebih spesifik lagi adalah dunia perbukuan,
jurnalistik, perfilman, dan periklanan.

Secara periodik
pembelajaran dapat dilakukan di luar kelas melalui kunjungan ke pameran
buku, bertamu ke rumah para pengarang dan penulis, melibatkan diri
dalam diskusi perbukuan, menghadiri undangan peluncuran buku, kunjungan
ke media massa dan penerbit buku (wisata baca), dan lain sebagainya.
Dengan begitu, pembelajaran bahasa Indonesia menjadi demikian hidup,
dinamis, dan penuh kejutan-kejutan baru.


Salam,
Irkham

http://kubukubuku.blogspot.com
http://madupramukacabangjateng.blogspot.com

...
Saya petik dari E-mail yang datang dari Milis Penulislepas.com

0 komentar:



Posting Komentar