Paradoks Demokrasi Ekonomi
Oleh : Radhar Panca Dahana
Oleh : Radhar Panca Dahana
19 April 2009 jam 15:18
Pada suhu panas Jakarta dan negeri yang dimasak oleh jargon dan nafsu politik belakangan ini, sempat muncul sedikit polemik tentang new socialism dari beberapa pendukung muda seperti Rocky Gerung, Budiman Sujatmiko dan Fadjroel Rahman. Sebuah tulisan pun muncul di harian Kompas, dari pengajar Sekolah Tinggi Filsfafat, Herry B. Priyono, yang “Mempertanyakan Kembali Kapitalisme”.
Wacana itu cukup memuncak saat empat ahli ekonomi yang dikenal sangat kritis, dipimpin oleh Soegeng Sarjadi dan Iman Sugema, melontarkan gagasan tandingan “ekonomi konstitusi” dalam sebuah panel diskusi (buku) di hotel Four Season. Intinya, tim pemikir ekonomi yang tangguh itu, setelah membongkar habis kebobrokan, kebusukan dan kekeliruan paradigmatis neoliberalisme yang mengusung paham-paham kapitalisme klasik, mengajak kita untuk kembali ke ide dasar: sebuah sistem ekonomi yang digariskan premis dan nilai utama-utamanya dalam konstitusi.
Inilah sistem yang pada akhirnya bermuara pada pandangan-pandangan populis Bung Hatta. Sebagaimana ditulis dalam artikel pembuka oleh Revrisond Baswir, sistem itu berdasar pada paham ekonomi kerakyatan di mana rakyat diposisikan sebagai pemilik, pengusaha dan pengguna seluruh sumberdaya yang ada di negeri ini. Dengan sistem yang disebut demokrasi ekonomi ini, tidak ada lagi penguasaan dan pengumpulan aset atau modal di tangan orang atau segelintir orang tertentu.
Di tingkat wacana pergulatan pemikiran ini sungguh menarik. Tak heran bila Soegeng Sarjadi menyebut pergulatan itu sebagai the battle of mind. Namun di tingkat praktis, kita mafhum –setidaknya secara diam-diam—wacana itu tidak memiliki kekuatan atau daya paksa yang cukup kuat untuk sekadar mengubah, mengoreksi, apalagi mengganti sistem yang berlaku saat ini.
Sebagai ide adoptif, new socialism muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan kapitalisme, tapi juga kegagalan sosialisme di masa lalu, dan berupaya menjadi antisipasi dari kegagahan kapitalisme yang selalu mampu bertahan dan tetap dominan. Sebagaimana di Amerika Latin, kita mengerti, beberapa (pemimpin) negara yang menganut ideologi ini tak mampu mengelak dari keberlakukan logika, premis dan struktur ekonomi pasar yang telah mengglobal. Sedikit atau banyak mereka pun “bermain” dalam pasar semacam itu.
Ide tentang rekonstruksi kapitalisme, antara lain dengan memasukkan unsur-unsur sosialitas atau sosialisme ke dalamnya, juga terasa oportunis. Ketika beberapa negara Eropa Barat yang dipengaruhi oleh gagasan sintetik “jalan tengah”, yang juga disebut third way Giddenian ini, tetap tak berkutik menghadapi permainan para pemilik kapital gigantik tingkat global. Krisis finansial yang berlangsung saat ini menjadi salah satu contoh ekstrimnya. Dimana pola-pola neoliberal pun pada akhirnya menjadi tumpuan utama solusinya (utang, bail out, penjualan obligasi, dan sebagainya).
Begitupun dengan gerakan romantik semacam back to the constitution menjadi reaktif, di saat kita memahami konstitusi itu sendiri juga bukanlah ide yang selesai atau abadi. Konstitusi pun bergerak, tumbuh, bersama dengan persoalan-persoalan mutakhir yang melingkupinya. Di sinilah pertarungan itu terjadi sebenarnya: berbagai amandemen harus terjadi, tidak lain untuk melayani kepentingan-kepentingan (juga) ekonomi dari para pendukung neoliberal itu.
Perang Kedaulatan
Menyadari situasi itu, apa yang diungkapkan Revrisond Baswir mendapatkan momennya: bukan battle of mind yang ada, namun battle of sovereignity, perang kedaulatan. Perang untuk merebut kedaulatan ekonomi yang telah direnggut, bukan hanya dalam 3-5 dekade belakangan, tapi boleh jadi sejak tiga abad yang lalu.
Namun sayang, perang kedaulatan itu tidak dapat direduksi, sebagai Revrisond menyitir Bung Hatta, sebagai hanya persoalan atau pertarungan ekonomi, bukan politik, bukan kebudayaan. Karena, bahkan bung Hatta pun tahu, perjuangan ekonomi itu tidak dapat dilepaskan dari usaha kita memperbaiki atau memperbarui sistem dan kehidupan politik kita. Dalam istilah, kata demokrasi ekonomi sudah menempatkan “demokrasi” sebagai conditio politis yang inheren di dalamnya.
Tapi di situlah paradoks dari sistem itu mencuat. Kata dan pemamahan kita tentang demokrasi, sebenarnya juga sejarah epistemologis dan ontologisnya, berakar dari nilai-nilai dasar yang sama dengan kapitalisme: rasionalisme, empirisme, dan selanjutnya. Nilai tentang persamaan hak dan kesempatan, misalnya, adalah jargon yang digunakan bukan hanya untuk melegitimasi kedua produk adab kontinental itu, tapi juga alasan untuk mendistribusikan bahkan memaksakan penerapannya di kawasan dunia lain.
Inilah awal universalisasi pasar yang ternyata dominatif, manipulatif, bahkan konspiratif. Demokrasi dan kapitalisme tumbuh melalui gagasan, institusi, dan praksis yang saling berkelindan dan interkomplementer di antara keduanya. Prinsip laissez faire dalam kapitalisme klasik, misalnya (mesti) mendapat jaminan keberlakuannya dalam praksis demokrasi yang mengutamakan individuasi. Prinsip yang kita tahu benar, dalam praksisnya hanya menjadi manipulasi dari kepentingan elit politik dan ekonomi saja; prinsip yang dalam realitas mustahil diterapkan.
Urgensi Kebudayaan
Hal terakhir di atas menjadi salah satu indikasi bagaimana persoalan kebudayaan adalah juga masalah yang kritis, krusial bahkan desisif. Seperti contoh yang kerap diberikan para ekonom kritis: pasar komoditi yang menjadi permainan para spekulan, sehingga harga-harga virtualnya (bukan riil) turun naik seenaknya, membuat para pelakunya di hulu (produsen, petani) menjadi korban habis-habisan.
Begitu harga naik, mereka (petani) itu mendapat keuntungan besar dan meningkatkan daya konsumsinya dengan membeli barang-barang luks. Barang-barang yang sesungguhnya jauh dari kebutuhan mereka sehari-hari, dan membutuhkan maintenance yang mahal. Ketika harga anjlok, pola konsumsi dan kebutuhan luks itu tetap, maintenance juga tetap, dan akhirnya membuat mereka rudin. Lalu berutang.
Pola konsumsi gila-gilaan (sophaholic) ini sesungguhnya juga menimpa kelas lain, menengah dan atas. Namun untuk kegiatan itu, mereka masih memiliki dana cadangan, tapi para petani? Bahkan untuk mengonsumsi itu pun mereka harus berutang. Inilah problem kulturalnya. Praksis konsumsi, yang kemudian sudah menjadi perilaku (behavior), simbol status, bahkan cara berpikir ini, membuat masyarakat kita kekurangan daya dan waktu untuk melakukan produksi dan kreasi.
Pada saat yang bersamaan, sumber-sumber produksi itu pelan dan pasti telah direbut oleh kapital besar melalui mekanisme pasar bebas. Mulai dari hulu, distribusi hingga retail (hilir). Kita menuju masyarakat yang total konsumen. Kita bekerja, mencari uang hanya untuk konsumsi. Bukan untuk aktualisasi, produksi, atau kreasi.
Perjuangan kebudayaan adalah perjuangan mengembalikan kedaulatan manusia atas dirinya sendiri. Manusia yang kini tinggal menjadi crowd (kerumunan) atau konstanta mati. Dan hanya manusia yang berdaulat yang dapat memperjuangkan dan merebut hak-hak asalinya, termasuk hak ekonominya.
Karena itu, sebenarnya istilah yang digunakan Soegeng Sarjadi ada tepatnya. Saat ini yang terjadi adalah battle of mind. Dalam pengertian, pemahaman dan persepsi kita tentang diri kita sendiri, harus kita perbaiki, kita tinjau ulang. Ada konstitusi baru yang harus ditegakkan. Lebih dulu adalah konstitusi tentang diri dan realitas di hadapan kita. Dari konstitusi inilah kita bisa mulai berjuang.
Dan bagaimana gagasan untuk menjalankan perjuangan (konstitusi) baru itu? Baiklah...ijinkan saya menuliskannya di lembar-lembar kertas baru.
rpd
.....................
Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=62963962581&comments=#/note.php?note_id=161397515023
0 komentar:
Posting Komentar