Ramadan: Kursus Islam Terbaik untuk Minoritas

15 October 2006



Juru Tulis: Lambertus L. Hurek

Sepanjang bulan Ramadan praktis gaya hidup orang Indonesia berubah. Siklus tidur berubah. Pola makan berubah. Acara televisi berubah. Siraman rohani nonstop.


Singkatnya, suasana selama satu bulan, plus gebyar Idul Fitri selama 10 hari, membuat bangsa Indonesia, yang katanya paling korup di dunia ini, sangat religius.

"Ah, puasa-puasa begini jangan bicara yang jelek," kata teman.

"Puasa nggak? Alhamdulillah," suara penyiar radio. "Kita tingkatkan kualitas ibadah," kata ustad. "Perbanyak ibadah, jauhi maksiat, taubat... cari ridlo ilahi," tambah kiai lain.

Suasana macam ini sudah saya rasakan di Jawa Timur sejak awal 1990an. Di sisi lain, kita yang tidak puasa (karena bukan Islam) selalu diajak untuk buka puasa bersama.

Di Sidoarjo, misalnya, teman-teman selalu ajak buka puasa bareng. Pejabat ajak buka puasa. Seniman punya acara buka puasa. Siapkan takjil gratis... dan seterusnya.

Saya sangat menikmati keakraban dan persaudaraan bekat buka puasa bersama. Nikmat sekali!

Hikmah Ramadan bagi nonmuslim, yang saya alami, adalah bertambahnya pengetahuan dan pemahaman tentang Islam.

"Kita kayak kuliah gratis selama satu bulan penuh. Mahal lho ilmu tentang Islam itu. Kalau di-SKS-kan sudah berapa tuh," ujar Albert, teman saya yang Kristen, bekas aktivis mahasiswa lulusan Universitas Airlangga Surabaya.

Kuliah Islam gratis? Bayangkan saja. Hampir 24 jam media massa bikin acara dialog, ceramah, talk show, liputan ziarah, petilasan wali, masjid antik... dan sebagainya. Boleh dikata, 80-90 persen acara televisi berubah menjadi mimbar agama Islam selama Ramadan plus dua pekan pertama bulan Syawal. Bukan main!

Sebagai orang media, tiap hari saya baca artikel, berita, tanya-jawab, lihat foto, infotainmen, ngabuburit... hingga menikmati lagu-lagu pop dengan syair islami. Teman-teman pekerja infotainmen bilang musik religi(us). Bintang rock, penyanyi, yang biasanya garang, bertato, busana minim... hmm... tiba-tiba menjadi ustad sepanjang Ramadan.

"Raihlah kemenangan. Pintu surga. Pintu hidayah," begitu kira-kira pesan 'ustad-ustad' dadakan itu. Kalangan artis memang paling diuntungkan oleh Ramadan. Tak heran, H Sujiwo Tejo, bekas wartawan Kompas yang kini jadi dalang gendheng, menulis kolom di majalah Tempo dengan judul 'Ramadan, Marhaban ya Artis..."

Okelah. Yang jelas, berkat Ramadan pengetahuan orang bukan Islam tentang agama Islam meningkat drastis. Ini bagus karena kita belajar langsung dari sumber pertama. Lebih objektif.

Menurut saya, belajar agama ya, harus dari sumber otentik. Belajar Islam, ya, saya kiai atau ustad yang kredibel. Keliru kalau belajar Islam pada orang Kristen yang doktor islamologi. Belajar Buddha, ya, harus langsung ke bhikkhu, bukan baca buku yang ditulis orang yang bukan Buddha.

Belajar agama Katolik atau Kristiani, ya, harus langsung ke rohaniwan Katolik. Bukan baca buku atau ikut ceramah orang Islam 'yang ahli tentang nasrani' atau kristolog. Hasilnya pasti banyak bias dan ngawurnya.

Nah, mengikuti dialog Ramadan di Jawa Timur lewat media massa, juga ceramah-ceramah, sejak 1990-an, saya selalu menemukan repetisi. Baca saja dialog di halaman Metropolis-Jawa Pos. Dari dulu pertanyaan yang diajukan pembaca sama, jawabannya, ya, sama. Sejak saya SMA di Malang pertanyaannya itu-itu thok.

Beberapa contoh. Utang puasa tahun sebelumnya masih nunggak. Melihat gadis cantik, puasa batal atau tidak. Mencium bau masakan dan terbit selera makan. Hubungan suami-istri selama Ramadan. Jadi musafir bagaimana puasanya. Musafir itu kriterianya apa. Buka puasa apa harus makan kurma, minum yang manis-manis. Bagaimana kalau bos non-Islam bikin acara buka puasa. Orang Kristen ucapkan 'assalamualaikum', harus dijawab atau dibiarkan.

Pembantu yang terpaksa menyiapkan makanan untuk majikannya yang bukan Islam. Perempuan yang haid. Pekerja bangunan yang harus tetap kerja, puasane piye? Salat tarawih yang benar berapa rakaat: mana yang diterima Allah. Busana muslim itu macam mana. Jilbab atau kerudung yang benar kayak apa: macam di Taliban, cadar, jilbab gaul... dan seterusnya.

Saya ingat, memasuki hari ke-20 yang pertanyaan seputar malam 1.000 bulan (lailatul qadar). Apa itu? Kapan persisnya? Tanda-tandanya apa? Siapa yang boleh terima rahmat lailatul qadar. Makin dekat Lebaran, diskusi atau tanya-jawab mengerucut ke zakat fitraf.

Konsep zakat, yang sudah jelas, pun dijlentrehkan lagi panjang lebar di televisi, koran, radio, masjid, pengajian. Zakat, infaq, sedekah (shodaqoh). Bagaimana harus dikelola. Bedanya dengan pajak kepada negara. Bedanya zakat fitrah dan zakat mal.

Begitulah... masih banyak topik seputar Islam yang saya ikuti di media massa sejak 1990an, sehingga pemahaman saya tentang Islam boleh dikata di atas rata-rata. Ini membuat saya semakin mengapresiasi Islam, agama yang dipeluk sekitar 88 persen orang Indonesia. Saya bisa memahami perasaan mereka.

Dan itulah 'untungnya' jadi nasrani di Indonesia: kita tahu banyak tentang Islam ketimbang orang-orang Barat. Kita lebih peka. Beda dengan orang Denmark yang benar-benar ngawur: bikin lomba kartun yang sangat melukai perasaan orang Islam.

Saya, terus terang, sangat marah dan kecewa dengan ulah sejumlah orang Barat yang tak peka Islam. Ulah mereka ujung-ujungnya membuat kaum nasrani di Indonesia pun kadang kala dimusuhi. Saya ngeri membaca komentar-komentar di situs www.rakyatmerdeka.co.id berisi hujatan-hujatan menyusul tingkah polah orang Denmark.

ISLAM sebagai agama mayoritas memang mendominasi ruang publik tanah air. Bahkan, hampir mutlak di bulan Ramadan. Maka, agama-agama minoritas macam Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghuchu, Tao, agama asli (apalagi)... ibarat pemain figuran yang hanya bisa menepi (marginal). Kata syair lagu pop 1970-an, "Antara ada dan tiada."

Agama-agama minoritas itu ada, tapi ya... tidak aja. Kecian deh loe!!!!

Di chat room, misalnya, teman-teman saya selalu menyapa, "Puasanya bagaimana? Lancar-lancar aja?"

Ya, semua orang Indonesia memang dianggap beragama Islam hehe... Serba salah lah kita orang! Teman chat itu pun cerita banyak tentang kegiatan puasanya.

Karena agama minoritas tersisih di ruang publik, praktis pengetahuan saudara-saudara muslim Indonesia tentang Kristen, Katolik, Hindu, Buddha... sangat minim. Saya nilai pengetahuan 'mereka' (ah, saya sebetulnya lebih suka 'kita' yang inklusif) masih di bawah 60 alias C. Kalau mahasiswa, ya, harus kerja keras untuk lulus.

Kok bisa? Tak usah doktrin yang rumit-rumit, sampai sekarang muslim Indonesia belum tahu pengetahuan dasar ala anak Sekolah Minggu. Sekolah Minggu itu katekese atau semacam kursus dasar untuk anak-anak Kristen (usia SD dan kadang-kadang SMP) tentang katekismus atau ajaran elementer gereja. Di Katolik sekarang ini namanya Bina Iman Anak Katolik alias BIAK.

Contoh: beda Katolik dan Protestan, misa dan kebaktian. Beda Protestan, Pentakosta, Advent, Baptis, Karismatik, Kalvinis, Ortodoks... apalagi gereja-gereja evangelis baru yang makin subur dalam 10 tahun terakhir di Indonesia. Kenapa orang GKI (Gereja Kristen Indonesia) tidak mau ikut kebaktian di Gereja Pentakosta, apalagi Katolik? Saya jamin, tak banyak yang tahu.

"Lho, sudah ada empat gereja di dalam kota, kok bikin gereja lagi? Ini kan berlebihan," protes Hidayat, warga Sidoarjo.

Protes ini wajar, karena Cak Dayat ini memang tidak tahu bahwa si Advent mustahil ikut kebaktian di GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat) yang dekat alun-alun itu. Mereka pun tidak tahu kalau si Advent diharamkan ke gereja pada hari Minggu. Adventis hanya ke gereja hari Sabtu alias hari ketujuh. Maka, namanya Gereja Advent Hari Ketujuh (The Seventh Day Adventist Church).

Kitab suci orang Kristen, karena ketidaktahuan itu, disebut INJIL. Padahal, INJIL itu hanya bagian kecil dari ALKITAB alias BIBLE alias BIBEL alias BIJBEL alias SCRIPTURA. Orang Kristen di Indonesia lebih suka menyebut ALKITAB atau kadang-kadang di lingkungan Katolik, KITAB SUCI. Injil itu ada empat: Injil Matius, Markus, Lukas, Yohanes. Tidak dikenal Injil Barnabas, Injil Yudas, Injil Paulus, Injil Thomas... dan sejenisnya.

Perjanjian Baru (di dalamnya ada empat Injil tadi) terdiri dari 27 kitab. Perjanjian Lama ada 39 kitab. Total ALKITAB terdiri dari 66 kitab. Khusus Katolik, ada 7 lagi kitab Deuterokanonika, sehingga total 73 kitab. Inilah salah satu perbedaan utama Katolik dan Protestan (semua aliran).

Saya yakin, sekali lagi, hal-hal elementer tentang kekristenan macam ini tak banyak diketahui orang Islam di Indonesia. Bahkan, media massa pun kerap salah tulis. Tapi, ya, wajar saja karena itu tadi: agama-agama minoritas itu hanya ecek-ecek, figuran, ada dan tiada. Orang tidak merasa perlu untuk tahu, dan tidak mau tahu.

Ah, siapa suruh jadi minoritas?

3 comments:

cinajawaamrik said...

Harusnya Bung Hurek tulis buku perkenalan tentang agama Kristen, dengan bahasa yang gampang dimengerti oleh orang Islam. Ini akan merupakan kontribusi terhadap budaya multi-kultural di Indonesia.

Buku ini tujuannya bukan untuk menginjili, tetapi untuk menerangkan perbedaan dan persamaan dengan agama Islam, yang dengan Yudaisme merupakan agama2 yang turun dari Nabi Ibrahim.

Anonymous said...

Salut aku bung untuk anda, otak anda encer hanya 5% saja, tapi yang 95% encer banget! ha3x
Tulisan anda makin membuka mata saya.

salam hangat dan salam kenal dari London, England.

Fai

Lambertus L. Hurek said...

Terima kasih atas komentar Cak Wens di USA dan Fai di England. Begitulah, saya hanya sekadar buat catatan ringan buat menambah pemahaman kita satu sama lain. Jangan segan-segan kasih masukan ya? Selamat sukses di negeri orang!

Post a Comment

Silakan menulis komentar di bawah ini. Komentar ANONIM tidak akan dijawab.

DISCLAIMER: Opinions expressed here are those of the writers and do not reflect those of mine. LAMBERTUS L. HUREK accepts no responsibility legal or otherwise for their accuracy of content.

0 komentar:



Posting Komentar