Telisik Cerpen: MENERIMA ”SUAP” KARYA PUTU WIJAYA



Telisik Cerpen: MENERIMA ”SUAP” KARYA PUTU WIJAYA
Oleh : Khrisna Pabichara


Tulisan ini dimaksudkan untuk menelisik cerpen “Suap” karya Putu Wijaya.


Cerpen ini termasuk nominator penerima Anugerah Sastra Pena Kencana Tahun 2009.

Dinukil dari buku “20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009”, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Cetakan pertama, Februari 2009, hal. 118-128. Dipublikasikan pertama kali oleh Jawa Pos, 21 September 2008


MENERIMA ”SUAP” PUTU WIJAYA

Sebuah Telisik Ringan: Khrisna Pabichara


APAKAH menurut Anda, mengarang cerpen itu hanya merupakan batu loncatan untuk menulis bentuk sastra lain yang lebih serius? Apakah menurut Anda, cerpen hanya pelengkap kesusatraan belaka?

Apakah bagi Anda, menulis cerpen itu pekerjaan ringan, perintang waktu, tidak benar-benar serius, dan bisa dikerjakan dalam satu hingga dua jam?

Jika jawaban Anda untuk semua pertanyaan di atas adalah ”Ya”, Anda keliru. Sangat keliru. Cerpen bukan batu loncatan. Bukan pula ”pekerjaan” yang bisa diselesaikan dalam hitungan hari, apalagi jam. Bukan juga pekerjaan ringan yang dipilih untuk menghabiskan waktu luang. Saya tidak bermaksud menakut-nakuti.

Namun, persepsi yang salah tentang cerpen itu, harus segera dibenahi, dikembalikan pada jalur yang benar.


Perihal kedudukan cerpen, Budi Darma dalam Solilokui (1983) menyatakan bahwa pendapat sebagian pengarang yang menjadikan cerpen sebagai batu loncatan semata adalah sikap kepengarangan yang sangat keliru. Ketika muncul sinyalemen krisis sastra pada tahun lima puluhan, cerpen justru tampil sebagai pemegang hegemoni sastra Indonesia. Jadi, dalam hal proses penggarapan, cerpen itu dunia yang ”serius”. Bukan proyek main-main atau pekerjaan asal-asalan. Apalagi sekadar ban serep untuk membunuh waktu luang.


Salah seorang sastrawan yang mengarang cerpen dengan serius adalah Putu Wijaya.

Saya, sebagai bentuk apresiasi terhadap kepengarangannya, akan menelisik cerpen Suap, karya Putu. Cerpen ini dipublikasikan oleh Jawa Pos pada 21 September 2008. Selain itu, cerpen ini termasuk dalam 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2009 yang berhak dinominasikan untuk menerima Anugerah Sastra Pena Kencana 2009.


Mari kita bertualang di dunia Putu.

Budaya Suap di Negara KorupPERUT kerapkali merubuhkan bangunan moral: yang diyakini dalam hati sebagai kepercayaan, atau di kepala sebagai pikiran. Desakan kebutuhan bisa mengubah seorang yang idealis dan bermoral menjadi maruk dan tamak. Tuntutan perut bisa membutakan hati seseorang sehingga rela melakukan tindakan yang bertentangan dengan nuraninya. Itulah mengapa sehingga banyak agama menganjurkan puasa sebagai terapi ampuh untuk meredam ”godaan perut” itu.


Indonesia termasuk negara terkorup di dunia. Salah satu budaya ”buruk” yang mengakar kuat dalam negara korup ini adalah ”budaya suap”. Nyaris tak ada ruang di negeri ini yang bebas dari suap. Dari preman hingga politisi semuanya terjangkiti virus suap. Dari pengurus RT hingga pejabat tinggi negara bisa disuap. Dari seniman hingga pemuka agama biasa menerima suap. Maka, tidak heran jika Indonesia berada di garda terdepan negara dengan tingkat korupsi tertinggi.Fenomena apa yang paling sering kita saksikan melalui berbagai peristiwa sehari-hari? Media massa, khususnya surat kabar dan televisi, membuka banyak ruang informasi tentang pejabat yang tertangkap basah sedang ”disuap” atau ”menyuap”. Anehnya, mereka yang tertangkap itu sering tidak merasa risih. Atau, jengah. Mereka tampak biasa-biasa saja. Kita bandingkan dengan maling ayam yang tertangkap basah. Pasti bakal digebuki beramai-ramai, lalu di arak keliling kampung untuk dipermalukan sehina-hinanya.

Itulah yang dibidik Putu lewat cerpennya, Suap.


Sebagai warga negara, Putu meyakini ada yang harus dibasmi. Ya, budaya korup itu. Bandura (1989) meyakini bahwa perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Jika otak kita selalu dipenuhi oleh ”materi” dengan segala cara untuk mendapatkannya, tak peduli itu halal atau haram, maka perilaku kita membenarkan suap.


Meskipun, hati kita sebenarnya menyangkal keras.Coba telisik keadaan sekitar Anda. Urusan surat-surat di kantor Kelurahan saja acapkali menggunakan istilah ”jalur tol” atau ”jalur lambat”. Jalur tol, dengan bumbu suap, akan selesai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sedangkan jalur lambat, dengan biaya sebenarnya, akan dikerjakan dalam waktu yang selambat-lambatnya. Mau mendaftar jadi PNS, polisi, tentara, atau apa saja, banyak orang rela ”menyuap”. Mau masuk sekolah favorit saja sering menggunakan jasa ”amplop khusus”. Guna memenangkan tender, jurus ”menyuap” pun berlaku. Agar terbebas dari jerat hukum, suap bisa menjadi alternatif yang ampuh. Pejabat negara doyan suap. Anggota dewan pun menerima suap. Begitu juga dengan penegak hukum. Bahkan, seniman saja menerima suap, seperti dikisahkan Putu dengan cerdas. Dan, lugas.Wahyu itu Bernama Suap.

SUAP adalah gambaran bangsa yang limbung.

Suap adalah bukti ketidakberhasilan pembangunan mental.

Suap adalah lambang kegagalan para pemuka agama melanjutkan tugas ”kenabian”.

Suap adalah bukti nyata ketidakampuhan kurikulum moral di bangku sekolah.Intrik dunia suap, dengan balutan humor dan komedi penuh kejutan lewat alur yang berkembang tak terduga, membuat cerpen ini menarik untuk dibaca, dikaji, dan ditelisik. Begitu saya mulai membaca cerpen ini, saya merasa terhisap ke dalamnya. Larut. Hanyut.


Ayo kita coba membaca paragraf pertama.

Seorang tamu datang ke rumah saya. Tanpa mengenalkan diri, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Dia meminta agar di dalam lomba melukis internasional, peserta yang mewakili daerahnya, dimenangkan. ”Seniman yang mewakili kawasan itu sangat berbakat,” katanya memuji, ”keluarganya turun temurun adalah pelukis kebanggaan wilayah kami. Kakeknya dulu pelukis kerajaan yang melukis semua anggota keluarga raja. Sekarang dia bekerja sebagai opas di kantor gubernuran, tetapi pekerjaan utamanya melukis. Kalau dia menang, seluruh dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang mengalami musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat lebih sibuk mengurus soal-soal politik daripada soal-soal kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam kebutaan, TBC, mati muda, akan terselamatkan. Saya harap Anda sebagai manusia yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama, memahami amanat ini. Ini adalah perjuangan hak asasi yang suci.


”Apa yang Anda bayangkan ketika membaca paragraf di atas? Apakah Anda menangkap gejala telah putusnya urat malu dari tamu sang tokoh cerita? Jika jawaban Anda ”ya”, berarti Anda merasakan hal sama seperti yang saya rasakan.

Tanpa mengenalkan diri, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Kalimat ini cerdas. Kalimat ini merupakan pernyataan tegas bahwa ”budaya suap” bukan lagi sesuatu yang tabu, yang harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi.


Apa tujuan tamu itu menyuap? Dia meminta agar di dalam lomba melukis internasional, peserta yang mewakili daerahnya, dimenangkan. Kalimat ini menjelaskan kenapa, mengapa, dan untuk apa tamu itu menyuap. Latar historis keluarga pelukis yang ingin dimenangkannya menjadi argumen pemikat. Belum lagi jika ditambah dengan latar belakang ”kemelaratan” keluarga pelukis itu. Dan, paragraf pembuka itu ditutup dengan pernyataan sang tamu yang ”menyinggung” kemuliaan hati sang tokoh. Sang tokoh, digambarkan Putu sebagai ”Saya”, akhirnya berada di simpang jalan.

Dalam dilema, dalam keraguan. Ia berusaha keluar dari benturan nuraninya dengan fenomena realitas yang kembali meletakkan pelaku korup sebagai pesakitan. Ia gamang.

Saya langsung pasang kuda-kuda.

”Maaf, tidak bisa.Tidak mungkin sama sekali. Juri tidak akan menjatuhkan pilihan berdasarkan kemanusiaan, tetapi berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus atau tidak.”

”Tapi, bukankah karya yang bagus itu adalah karya yang membela kemanusiaan dan bermanfaat bagi manusia?”

”Betul. Tapi, meskipun membela kemanusiaan, kalau tidak dipersembahkan dengan bagus atau ada yang lebih bagus, di dalam sebuah kompetisi yang adil, tetap tidak akan bisa menang.”


Søren Kierkegaard (1847) menyatakan, pilihan adalah sesuatu yang sangat menentukan kandungan kepribadian. Dalam pilihan, kepribadian membenamkan diri pada apa yang dipilihnya. Dan, jika ia tidak memilih maka berarti ia telah menyia-nyiakan peluang. Putu, secara sadar, bermain di ruang psikologis itu.


Menguak sisi humanis seorang seniman, dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, seperti layaknya seniman pada umumnya. Sang tokoh dibawa ke tempat paling gelisah untuk menentukan pilihan. Jujur atau serong. Jujur dapat keropong, serong bakal kenyang.Sebuah penggambaran karakter tokoh yang khas dan manusiawi. Seperti lumrahnya kepribadian seniman, sang tokoh dibuat dilematis.

Pada satu sisi, seperti tutur Hume (1755), sesuatu yang agung bukanlah menjadi ini atau itu, melainkan menjadi diri sendiri. Namun, bagaimana jika ”perut” menuntut yang lain? Bagaimana jika dapur butuh subsidi agar tetap ada aroma masakan yang menyengat hidung? Dan, setiap manusia pasti memiliki sisi lemah. Terutama, ketika berbicara uang. Termasuk ”saya”, tokoh rekaan Putu.
Lalu dia mengeluarkan sebuah cek kosong yang sudah ditandatangani. Saya langsung merasa tertantang dan terhina. Tetapi entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek itu membuat saya beku.


”Kalau wakil kami menang, Bapak boleh menuliskan angka berapa pun di atas cek kontan ini dan langsung menguangkannya kapan saja di bank yang terpercaya ini.”

Saya bergetar. Itu sebuah tawaran yang membuat syok.Siapa yang tidak tergoda jika berada dalam posisi seperti ”saya”?

Maka, terjadilah kontradiksi dalam hati. Rasa muak atas ketidakberdayaan memenuhi kebutuhan keluarga, serta godaan rupiah yang berada di depan mata, memaksa ”saya” pada keharusan memilih. Dan, ia sekarang punya peluang menjadi orang kaya. Tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. Atau, siang-malam memeras pikiran. Tinggal mengangguk. Maka, ia bisa berucap: selamat tinggal kemelaratan.


Bagi Marion Dane Bauer (2005), ada tiga fungsi penting dialog dalam sebuah cerita, yakni

(1) dialog itu mengungkapkan karakter tokoh,

(2) memberikan informasi kepada pembaca,

dan (3) menggerakkan cerita. Putu, dengan cermat, memenuhi ketiga fungsi penting dialog itu sekaligus.


Coba kita telisik lagi.


Saya memang tidak percaya. Tapi saya tidak ingin memperlihatkannya.

”Anda tidak percaya pada kami?”

”Bukan begitu.”

”Jadi bagaimana? Apa Anda lebih suka kami datang dengan uang tunai? Boleh. Begitu? Berapa yang Anda mau?”

Saya tak menjawab.

”Satu miliar? Dua miliar? Lima miliar?”

Saya terkejut. Bangsat. Dia seperti menebak pikiran saya.


Dialog tokoh tamu, pada petikan cerpen di atas, memperlihatkan karakter yang progresif, yang kukuh, yang tidak mau berhenti sebelum semua keinginannya terpenuhi. Sementara dialog tokoh ”saya”, menunjukkan adanya idealisme, sekaligus sifat peragu, tidak tegas.

Tentulah Putu telah melewati serangkaian riset yang menggerakkan hatinya untuk menulis cerpen ini. Dengan begitu, Putu ingin berbagi tentang potongan realitas. Dimana seniman sebagai pihak yang paling getol menyuarakan ”pemberontakan” terhadap perilaku korup dan suap, justru diletakkannya sebagai tokoh yang rentan suap.


Apakah ini sekadar imajinasi?

Jawaban saya: setengah ya setengah tidak.

Mengapa?

Hal seperti ini bisa saja terjadi.


Begitulah, Putu memainkan bagian paling sensitif dalam diri manusia, hati.Sebuah Kegilaan dan KeliaranAPAKAH tokoh saya tergoda bujuk-rayu tamunya itu? Apakah ia akhirnya menerima suapan itu? Bukan Putu namanya jika tidak piawai membuat kelok, tanjakan atau tikungan tajam dalam cerpennya. Begitu pula dalam Suap.


Dengan mahir, Putu menyesap saya ke dalam ruh cerita.

Tanpa terasa. Putu menciptakan konflik dengan kemasan yang lucu, yang bisa membuat kita kaget, sekaligus tertawa terbahak, atau malah tercenung. Butuh keterampilan khusus melakukan hal seperti itu.
Saya memberi isyarat untuk menolak. Tapi orang itu terlalu sibuk, mungkin sengaja tidak mau memberi saya kesempatan. Waktu itu anak saya yang baru berusia 4 tahun berlari dari dalam. Dia memeluk saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi, sebelum tertangkap, anak itu mengubah tujuannya. Dia mengelak dan kemudian mengambil kedua amplop yang menggeletak di atas meja.”Ade, jangan...!”Tapi amplop itu sudah dilarikan keluar.Seandainya Anda yang mengarang cerpen ini, apakah Anda akan menulis sama seperti imaji liarnya Putu? Tentulah berbeda. Karena Anda dan Putu pastilah berbeda. Tapi kita harus mengakui kepiawaian Putu dalam membelokkan cerita. Tidak terduga. Tidak mudah tertebak. Dan, saya yakin, Anda pasti memiliki kekuatan yang sama, jika terus berlatih. Sebagaimana Putu berlatih.


Jika ada aturan dalam menulis cerpen, pesan Carmel Bird (1988), aturannya sangat sederhana: ”jangan membosankan”.

Di lain pihak, Clarissa Pinkola Estes berpendapat agak nyeleneh. Katanya, keliaranlah, bukan kepatutan yang menjadi urat nadi, yang menjadi inti, yang menjadi batang otak, dari penulisan kreatif.Putu memakai kedua pendapat itu, menulis cerita yang tidak membosankan dan keliaran imajinasi. Kemunculan sang anak, seperti disengaja sebagai efek komedi, sekaligus solusi ”bijak” yang menjebak tokoh utama. Memaksa sang tokoh berada dalam situasi yang semakin tidak menguntungkan. Paragraf di bawah ini akan membuktikan betapa lihai Putu memainkan keliaran imajinya.

Terlambat.

Anak saya melemparkan kedua amplop itu ke dalam kolam. Kedua-duanya. Ketika saya tangkap, dia diam saja. Matanya melotot menentang mata saya. Seakan-akan dia marah, karena bapaknya sudah mengkhianati hati nurani. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud menerima suapan itu. Saya hanya memerlukan waktu dalam menolak. Saya kan belum berpengalaman disuap. Apalagi menolak suap. Itu memerlukan keberanian mental. Baik menerima maupun menolaknya.Kedua amplop itu langsung tenggelam. Sudah jelas sekali bagaimana beratnya. Perasaan saya rontok. Dengan menghilangkan akal sehat saya lepaskan anak saya, lalu terjun ke kolam. Dengan kalap saya gapai-gapai. Tapi kedua amplop itu tak terjamah.Para tetangga muncul dan bertanya-tanya. Heran melihat saya yang biasa jijik pada kolam yang sering dipakai tempat buang hajat besar itu, sekarang justru menjadi tempat saya berenang. Bukan hanya berenang, saya juga menyelam untuk menggapai-gapai. Tidak peduli ada bangkai ayam dan kotoran manusia, amplop itu harus ditemukan. Dengan berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu lenyap, berarti saya sudah makan suap. Hampir setengah jam saya menggapai-gapai menyelusuri setiap lekuk dasar kolam. Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan: bahaya.


Hare gene, siapa yang tidak perlu uang?

Ya, amplop itu harus ditemukan. Mau tidak mau. ”Saya” harus bertanggung jawab. Itu risiko.Selain karena transaksi suap-menyuap belum sah atau belum ijab-qabul, juga karena amplop itu berisi uang. Materi yang bisa mengangkat keluarga ”saya” ke atas garis kemiskinan. Tapi, amplop itu tak ditemukan. Di sinilah terlihat kepiawaian Putu memainkan bahasa. Lewat bahasa sederhana, sangat bersahaja, tanpa banyak sentuhan metafora, tapi sukses menyampaikan pesan. Sukses mengusung ”kisah” yang hendak didongengkan.
Saya termenung. Apa pun yang saya lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak dengan tegas, berarti saya sudah menerima. Ketidak-mampuan saya untuk tidak segera menolak karena kurang pengalaman, tak akan dipercaya. Siapa yang akan peduli. Masyarakat sedang senang-senangnya melihat pemakan suap digebuk. Kalau bisa mereka mau langsung ditembak mati tanpa diadili.Lantas, bagaimana dengan amplop itu? Putu memasukkan potongan peristiwa baru ke dalam cerita. Seorang anak tetangganya meneruskan misinya mencari amplop itu di kolam. Dan, ia menemukan amplop itu. Dengan penuh sukacita, ”saya” memberi upah kepada bocah itu selembar uang lima puluh ribu, tapi istrinya protes. Lalu menukarnya dengan tiga lembar uang ribuan. Sebuah proses menuju klimaks yang apik. Dan, asyik. Saya berasa sedang di ayunan, naik-turun.Beruntung pula, ternyata peserta lomba yang dimintakan dukungan oleh penyuap itu, keluar sebagai pemenang. Bak ketiban durian runtuh. Selain memang pantas menang, mayoritas juri lain juga mendukung peserta dari daerah itu. Entah, apakah mereka juga disuap seperti ”saya”, tak peduli. Yang penting, ”saya” tidak harus mengembalikan dua amplop berisi uang itu.Selama ini, ”saya” memperlakukan kedua amplop itu layaknya berhala. Disayang, dirawat, dijaga, dan dilindungi. Alasannya karena ”saya” menganggap amplop itu sebagai kunci memasuki masa depan.

Kemudian, bagaimana penutup kisah ini?

Jangan harap kisah ini berakhir seperti tebakan kita, bahagia. Jangan pula menduga tokoh ”saya” mengembalikan amplop itu, karena tanggung jawab moral.

Lantas, apa yang terjadi?
Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop itu dan intip isinya. Kemudian dengan bernafsu, barang yang sempat saya berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar semua ketika menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya tumpukan kertas-kertas putih.Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua dan preteli. Sama saja. Isinya juga hanya kertas. Di situ mata saya mulai gelap. Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan amplop itu, lalu gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya menyerahkan kepada saya. Bangsat. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan rumahnya dan membeli motor? Saya S2, dia SMP saja tidak tamat.Dua paragraf yang ciamik. Dahsyat.


Putu sukses menggiring pembaca ke tikungan tajam itu. Kemudian menyodorkan sebuah kenyataan baru. Pendapat bahwa orang melarat dan berpendidikan rendah pasti jujur, sebagaimana sering ditonjolkan sinetron belakangan ini, ternyata tidak sepenuhnya benar.

Selalu ada sisi baik dan buruk pada semua lapisan masyarakat.


Putu lalu menutup Suap dengan hebat.

Tokoh ”saya” diciptanya sebagai karakter yang tidak legowo. Yang tidak bisa menelan kekecewaannya begitu saja. Malah bertindak anarkis, yakni menghujani rumah baru tetangganya dengan batu. Termasuk motor barunya. Sekolah Anti KorupsiSAYA, sebagai seorang pemerhati pendidikan, sadar bahwa pembentukan karakter merupakan bagian penting kinerja pendidikan. Namun, tidak berarti bahwa harus kita lakukan secara instan dan terburu-buru.


Cerpen ini mengetuk nurani kita. Betapa banyak nilai moral yang sudah bergeser. Tentu saja, kita tidak bermaksud mewariskan kebobrokan itu pada generasi berikutnya. Akan tetapi, tidak pula lantas kita paksakan kurikulum reaktif, sebagai upaya menangkal perilaku suap-menyuap itu. Kurikulum yang hanya menyentuh permukaan saja. Dangkal. Tidak menyentuh hati. Tidak menyesap ke kedalaman sanubari.


Wacana pembentukan Sekolah Anti Korupsi, kantin kejujuran, atau Pendidikan Anti Korupsi sebagai pengganti PPKn, perlu digali dan dikaji lebih mendalam. Bukan berarti menolak, melainkan menyarankan agar pendidikan tidak terjerembab pada kedangkalan. Segera kita benahi moral bangsa ini secara santun dan bijak.Cerpen ini, memberi lampu merah bagi kita.


Sesungguhnya, kita masih dapat membicarakan cerpen Suap ini lebih jauh. Kita bisa menelisik sisi imajinasinya, seperti Julien De La Mettrie menempatkan perkara imajinasi sebagai sesuatu yang vital. Bisa juga menggunakan pendekatan fenomenologis seperti sudut pandang Rudolf Otto. Bahkan, kita bisa menggunakan pendekatan arkatipe (tipe induk) yang dengan leluasa memanfaatkan berbagai disiplin ilmu untuk menguak lebih dalam dan lebih luas kekayaan teks yang dikandung cerpen ini.Oleh karena itu, jika Anda butuh hiburan atau bacaan bermutu, cerpen ini layak menjadi pilihan. Jika Anda ingin mengasah kemampuan mengarang, cerpen ini patut jadi bahan perbandingan.

Semoga tulisan ini menginspirasi Anda.


☼☼☼

Parung, 2 Mei 2009 11:30

0 komentar:



Posting Komentar