Sastra Maya, Mana Tanggung Jawabmu?



Sastra Maya, Mana Tanggung Jawabmu?
Oleh : Johanes Koen



Sastra Maya, Mana Tanggung Jawabmu? Bandung. Di belakang meja dua kali satu, di sebelah ruang tempat Soekarno pernah membacakan pledoi, petang itu saya menyempatkan diri berbincang dengan dua wanita - yang karena sebuah rezim - suami-suami mereka terpaksa harus membayar lunas sebuah konsekuensi: mati! Saat itu gerimis. Suciwati, istri Alm. Munir, dan Yu Pon, istri Alm. Wiji Thukul, mengerti benar bahwa sikap dan sajak memiliki nafas lebih kuat daripada nama yang tersemat.


Tapi daripadanyalah kita mengerti, bahwa nama itu menjadi obituari oleh sebab mengambil tanggungjawab. Bukan karena lari.


Bila karya mempunyai nama dan nama identik dengan apa yang dibawanya, lalu siapakah yang akan bertanggungjawab pada karya-karya tanpa nama dan dengan apa-apa yang dibawa besertanya? Pada dinamika kepenulisan dalam dunia maya, keprihatinan ini ada, dan kita tidak bisa menutup mata.


Saat media massa masih mempunyai redaktur budaya, dan editor masih dimiliki penerbit sebelum sebuah buku naik cetak, lalu apa, atau siapa yang akan bertanggungjawab akan karya-karya ‘sastra maya’. Lebih-lebih tidak semua daripadanya mencantumkan nama. Lebih-lebih tidak semua komunitas kepenulisan maya memiliki sistem memadai yang mampu memberi, atau mengambil tanggungjawab akan materi-materi yang terpublikasi. Lebih-lebih tak jarang diantaranya hanyalah sekedar duplikasi dan tak jarang mengemulsi opini subjektif dengan tendensi negatif yang teramat tinggi.


Siapa dibalik siapa, siapa menyerang apa, siapa menjatuhkan siapa menjadi sangat brutal tanpa ada aturan yang mengawal.


Semakin murah dan mudahnya akses jejaring internasional sudah memungkinkan terjadinya komunikasi massa diluar nilai-nilai sosial yang wajar dan dulunya disepakati bersama. Kelompok-kelompok penulis, jurnal-jurnal komunitas, bahkan individu-individu yang serta merta mentahbiskan diri sebagai pemimpin para pujangga: semua ada, dikontekskan, dan dibalut secara maya. Lalu salahkan jika sinisme yang kemudian muncul seiring pertanyaan seberapa jauh ini semua bisa dipertanggungjawabkan secara legal?


Atau memang minta dimaklumi karena kita terpaksa tahu sama tahu bahwa semua ini hanyalah dagelan.


Semua orang bisa dan berhak menulis, tetapi celakanya tidak semua orang dibesarkan dalam lingkungan kepenulisan/kepenyairan yang memiliki kesadaran tanggungjawab yang tinggi. Menjadi sangat penting untuk dipersoalkan karena ini membuka celah seorang penulis tidak berani menopang buah pikirannya sendiri. Akan muncul pribadi-pribadi dengan keterampilan yang tinggi tetapi menghidupi jiwa-jiwa yang kerdil.


Andai Alm. Pramoedya saat ini masih hidup, mungkinkah ia di Utan Kayu sana, dibalik kacamata tebalnya, dibawah topi pet, mengetik-ngetik sebuah esai kecil, mengirimkannya pada sebuah komunitas di internet dengan menyamarkan diri sebagai Si Anu atau Si Ini?


*johanes.koen - LPM Podium ITTel Bandung - johanes.koen@yahoo.co.id

silahkan disebarkan bila Anda berkenan

0 komentar:



Posting Komentar