Anda Menulis, Bukan Mengigau



ANDA MENULIS, BUKAN MENGIGAU
penulis ; Johanes Koen


Menumbuhkan tanggung jawab adalah menumbuhkan budaya. Karenanya sikap tersebut harus datang dari kesadaran. Tidak perlu sebuah aturan yang mewajibkan. Nah, seberapa jauh kita sadar akan apa yang telah kita tulis, lalu mempertanggungjawabkannya?

Suatu ketika Anda (secara sadar atau tidak sadar) menulis. Lalu Anda merasa takut untuk mempublikasikan karena tulisan tersebut mengandung materi yang sensitif dan potensial dipermasalahkan. Maka bisa jadi rasa takut itu datang karena ketidaksiapan Anda membela apa-apa yang telah anda kemukakan.

Di jaman yang sudah sangat komplek, berbagai macam penyimpangan bisa terjadi. Dan menyebarkan penyimpangan itu melalui tulisan adalah sebuah pilihan. Tetapi sebuah kesadaran untuk bertanggungjawab tetap diperlukan.

Beberapa yang perlu diperhatikan:

1. Jangan bermain opini tanpa bukti.
Sebuah opini harus memiliki dasar yang kuat. Dan salah satu dasar yang kuat adalah sebuah bukti. Anda boleh saja tidak menebar bukti di salah satu tulisan anda. Misal: bukankah tidak memungkinkan 'memasukkan' selembar kuitansi palsu pada puisi penggelapan dana yang Anda tulis. Tetapi anda tetap harus memiliki bukti tersebut ditangan Anda.

2. Pelajari Undang-undang
Hukum di Indonesia cukup kompleks. Apalagi sistem peradilan kita menganut sistem Eropa dimana hakim (yang belum tentu keilmuannya kompeten dengan kasus yang dihadapi) yang memutuskan bersalah-tidak bersalah. Berbeda dengan Amerika dimana salah-tidak bersalah diputuskan oleh juri.

Jika anda ingin menulis tentang 'keanehan' yang dilakukan oleh seorang dokter yang menurut hemat Anda tidak prosedural, Anda harus membaca dulu kode etik kedokteran indonesia. Anda juga harus membaca KUHP tentang pencemaran nama baik. Karena kita harus bertumpu pada sesuatu ketika kita menyatakan kebenaran akan sesuatu. Dan kita perlu tahu konsekuensi apa yang harus kita tanggung akan langkah yang kita lakukan itu.

Membaca KUHP yang menjanjikan pidana penjara bukan untuk membuat takut. Tetapi agar Anda tidak kaget akan resiko dari apa yang sedang dilakukan. Jika Anda takut, maka Anda akan tahu hal-hal apa yang harus anda siasati.

3. Buat sikap Anda terlebih dahulu, baru kemudian tuliskan
Beberapa orang kadang menuangkan tulisan yang memiliki tendensi pada pihak tertentu secara tidak sadar. Lalu serta merta kebingungan, lebih-lebih ketika banyak pihak memberikan intepretasi berbeda pada tulisan itu.

Untuk menghindarinya, putuskanlah dulu dimuka tentang sikap Anda, tujuan Anda menulis, dan sasaran yang Anda tuju. Jika perlu matangkan dulu ini dengan sebuah diskusi. Jika tulisan Anda sudah selesai, verifikasi kembali, atau minta seorang lain untuk membaca. Lalu tanyakan maksud tulisan itu menurutnya, kemudian cocokkan dengan tujuan sebelumnya. Sudah identik kah?

4. Siap membela, dan siap berkonflik.
Bercanda jika Anda menulis hal yang rawan, sensitif, dst sembari Anda bermimpi hidup Anda tetep adem ayem. Beberapa orang yang mentalnya tidak siap untuk menempuh proses ini, akan lebih memutuskan untuk tidak membela tulisan yang mereka buat secara sadar. Memprihatinkan.

Menulis, dan menghadapi konsekuensi, adalah setali dengan kesiapan mental untuk berkonflik (baca: berselisih paham) dengan pihak lain. Untuk itu tanyakan dulu pada diri sendiri, kuatkah mental Anda? Jika tidak siap, siapkan dulu. Beberapa yang lain menganggap bahwa kesiapan orang-orang disekitar Anda, dan bahkan kesiapan finansial juga perlu (ingat, legal opinion seorang pengacara pemula pun sudah berharga ratusan ribu). Tapi saya pribadi selalu beranggapan bahwa yang utama adalah kesiapan mental Anda terlebih dahulu.

5. Buka mata, adakah jalur yang lebih efektif?
Kadang seorang memilih menulis hanya sebagai curhat tentang kenegatifan seseorang/institusi dsb. Lalu karena globalisme dunia yang didukung teknologi, 'curhat' itu menyebar dengan cepat. Syukur jika curhat itu mendatangkan manfaat bagi yang dituju, tetapi kadang hanya sebagai 'angin lalu'.

Nah, setiap institusi biasanya mempunyai lembaga/jalur yang menangani komplain. Dan setiap pribadi biasanya masih mempunyai hati untuk diajak bicara. Gunakan dulu cara ini, jika belum berhasil, baru tempuh cara lainnya.

6. Tulis identitas Anda
Ketika Anda terbiasa menulis identitas/cara untuk mengakses diri Anda, itu akan membuat Anda bertanya pada diri Anda sendiri: siapkah saya dengan apa yang saya kemukakan ini.

Jika berlari dan bertindak sudah tak bisa kita miliki, maka kita masih bisa merangkak sembari mencatat. Ya, Bergerak!

-----
Foto diunduh dari: http://www.blogohblog.com/wp-content/pop/2008/06/how-to-write-ebook.gif

Sastra Maya, Mana Tanggung Jawabmu?



Sastra Maya, Mana Tanggung Jawabmu?
Oleh : Johanes Koen



Sastra Maya, Mana Tanggung Jawabmu? Bandung. Di belakang meja dua kali satu, di sebelah ruang tempat Soekarno pernah membacakan pledoi, petang itu saya menyempatkan diri berbincang dengan dua wanita - yang karena sebuah rezim - suami-suami mereka terpaksa harus membayar lunas sebuah konsekuensi: mati! Saat itu gerimis. Suciwati, istri Alm. Munir, dan Yu Pon, istri Alm. Wiji Thukul, mengerti benar bahwa sikap dan sajak memiliki nafas lebih kuat daripada nama yang tersemat.


Tapi daripadanyalah kita mengerti, bahwa nama itu menjadi obituari oleh sebab mengambil tanggungjawab. Bukan karena lari.


Bila karya mempunyai nama dan nama identik dengan apa yang dibawanya, lalu siapakah yang akan bertanggungjawab pada karya-karya tanpa nama dan dengan apa-apa yang dibawa besertanya? Pada dinamika kepenulisan dalam dunia maya, keprihatinan ini ada, dan kita tidak bisa menutup mata.


Saat media massa masih mempunyai redaktur budaya, dan editor masih dimiliki penerbit sebelum sebuah buku naik cetak, lalu apa, atau siapa yang akan bertanggungjawab akan karya-karya ‘sastra maya’. Lebih-lebih tidak semua daripadanya mencantumkan nama. Lebih-lebih tidak semua komunitas kepenulisan maya memiliki sistem memadai yang mampu memberi, atau mengambil tanggungjawab akan materi-materi yang terpublikasi. Lebih-lebih tak jarang diantaranya hanyalah sekedar duplikasi dan tak jarang mengemulsi opini subjektif dengan tendensi negatif yang teramat tinggi.


Siapa dibalik siapa, siapa menyerang apa, siapa menjatuhkan siapa menjadi sangat brutal tanpa ada aturan yang mengawal.


Semakin murah dan mudahnya akses jejaring internasional sudah memungkinkan terjadinya komunikasi massa diluar nilai-nilai sosial yang wajar dan dulunya disepakati bersama. Kelompok-kelompok penulis, jurnal-jurnal komunitas, bahkan individu-individu yang serta merta mentahbiskan diri sebagai pemimpin para pujangga: semua ada, dikontekskan, dan dibalut secara maya. Lalu salahkan jika sinisme yang kemudian muncul seiring pertanyaan seberapa jauh ini semua bisa dipertanggungjawabkan secara legal?


Atau memang minta dimaklumi karena kita terpaksa tahu sama tahu bahwa semua ini hanyalah dagelan.


Semua orang bisa dan berhak menulis, tetapi celakanya tidak semua orang dibesarkan dalam lingkungan kepenulisan/kepenyairan yang memiliki kesadaran tanggungjawab yang tinggi. Menjadi sangat penting untuk dipersoalkan karena ini membuka celah seorang penulis tidak berani menopang buah pikirannya sendiri. Akan muncul pribadi-pribadi dengan keterampilan yang tinggi tetapi menghidupi jiwa-jiwa yang kerdil.


Andai Alm. Pramoedya saat ini masih hidup, mungkinkah ia di Utan Kayu sana, dibalik kacamata tebalnya, dibawah topi pet, mengetik-ngetik sebuah esai kecil, mengirimkannya pada sebuah komunitas di internet dengan menyamarkan diri sebagai Si Anu atau Si Ini?


*johanes.koen - LPM Podium ITTel Bandung - johanes.koen@yahoo.co.id

silahkan disebarkan bila Anda berkenan

Telisik Cerpen: Menunggu Kartu Pos dari Agus Noor



Telisik Cerpen: Menunggu Kartu Pos dari Agus Noor
oleh : Khrisna Pabichara


Tulisan ini dimuat di Rubrik Jendela Halimun Harian Jurnal Bogor, pada 10 Mei 2009.

Ditulis untuk menelisik cerpen “Kartu Pos dar Surga” karya Agus Noor.

Cerpen ini termasuk nominator penerima Anugerah Sastra Pena Kencana Tahun 2000.

Dinukil dari buku “20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009”, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, cetakan Pertama, Februari 2009, hal. 1-7


Semoga bermanfaat.


Menunggu Kartu Pos dari Agus Noor

oleh : Khrisna Pabichara


DULU, Ayah saya juga pelaut. Setiap bulan, dalam waktu yang tidak tetap, selalu ada kartu pos yang saya terima. Ayahku selalu berkirim kartu pos setiap kali kapalnya merapat di dermaga. Tentu saja, kartu pos itu sangat berarti bagi saya. Kartu pos itu, selain menjadi pengantar kabar, juga menjadi obat penawar rindu. Rindu pada sosok Ayah. Sekarang, Ayah saya sudah tiada. Sudah kembali pada cinta-Nya yang abadi. Namun, kartu-kartu pos yang dulu Ayah kirim, setiap singgah di dermaga, masih tersimpan di kamar saya. Dan, di hati saya.

Begitulah, Agus Noor mengantar saya pada gerbang kenangan. Kenangan tentang kartu pos. Kenangan tentang bagaimana berdebarnya menunggu kartu pos itu tiba. Kenangan pada senyum Pak Pos setiap singgah di halaman rumah dan teriakannya yang masih berasa.


Kenangan pada sosok Ayah yang selalu rajin berkirim kartu pos. Agus melakukannya dengan santun, lewat Kartu Pos dari Surga. Namun, bukan hanya kenangan itu yang menjadi pintu masuk saya guna menelisik cerpen “berbobot” ini. Melainkan “isi maknawi” yang dikemas begitu rapi dan sangat apik.

Ya, saya menemukan banyak nilai yang dengan fasih disembunyikan Agus lewat teknik bercerita yang mengalir lembut. Di antaranya, kejujuran.

Lewat cerpen ini kita akan dihadapkan pada kenyataan, betapa berat mempertahankan kejujuran. Betapa sulit mengajarkan kejujuran. Dan, betapa musykil menanamkan kejujuran itu. Selain itu, Agus menunjukkan kepada kita, selaku pembaca, bagaimana menjadi Ayah yang bijak. Ayah yang jujur.Belajar Bohong Belajar JujurBEGITU cerita dimulai, tugas pengarang adalah menjaga agar pembaca tidak berhenti membaca.


Kelebihan Agus, dalam Kartu Pos dari Surga, adalah langsung memulai cerita dengan memercikkan ketegangan. Saya langsung terseret pada ilusi, apa yang terjadi ketika seorang gadis kecil melompat serampangan dan menyeberang jalan sembarangan, tanpa memedulikan mobil atau kendaraan lain yang melintas? Ketegangan itu, sekaligus kunci pembuka yang ingin diberikan Agus bagi pembacanya. Bahwa pasti ada “sesuatu” yang membuat gadis kecil, Beningnya, berlari tergesa-gesa. Bahwa “sesuatu” itu pastilah istimewa atau sangat berarti bagi Beningnya, hingga dia mengabaikan keselamatannya. Dan, sesuatu itu adalah Kartu Pos. Kartu Pos dari Mamanya.
Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti. Beningnya langsung meloncat menghambur. “Hati-hati!” teriak sopir.Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu pos dari Mama telah tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan: bergambar apakah kartu pos Mama kali ini? Hingga Bu Guru karena terus-terusan melamun.Ketegangan itu tidak berhenti di sana. Alkisah, Beningnya bergegas menuju kotak surat. Membukanya, dan mencari kartu pos yang dicarinya. Tetapi, dia tak menemukannya. Agus dengan piawai memunculkan konflik internal dalam diri Beningnya. Ada dua analisis ringan yang mencuat di benak Beningnya. Pertama, mungkin saja Mamanya sedang sibuk sehingga lupa mengirim kartu pos. Atau, kedua, kartu pos itu sudah diambil oleh pembantu yang bekerja di rumahnya, Bi Sari.
Beningnya tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia melongok, barangkali kartu pos itu terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada. Apa Mama begitu sibuk hingga lupa mengirim kartu pos? Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya!

Beningnya pun segera berlari berteriak, “Biiikkk…, Bibiiikkk…”Dari sana muncul konflik eksternal, antara Beningnya dan Bi Sari.

Dari sana pula Agus mulai bertutur dengan santun, tanpa bermaksud menggurui, tentang bagaimana seharusnya menanamkan kejujuran pada seorang anak.

Kita ketahui bersama bahwa bagi setiap anak, hasrat bertanya untuk mengetahui sesuatu adalah hal yang lumrah dan wajar. Termasuk Beningnya. Bahkan, ada kecenderungan seorang anak yang enggan bertanya dianggap memiliki hambatan dalam perkembangan psikologisnya.

Dan, Bi Sari tidak menemukan cara yang tepat untuk menjelaskan kepada Beningnya, mengapa kartu pos itu belum juga datang.


“Ada apa, Non?”“Kartu posnya udah diambil bibik, ya?”Tongkat pel yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari merasa mulutnya langsung kaku. Ia harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat mata kecil yang bening itu seketika meredup, seakan sudah menebak, kenapa ia terus diam saja. Sungguh, ia selalu tak tahan melihat mata yang kecewa itu.Layaknya kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan, Bi Sari lantas bertanya ke Marwan, majikannya. Setali tiga uang dengan Bi Sari, Marwan pun kelimpungan untuk mencari alasan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan anaknya, Beningnya. Maka, muncullah banyak alasan demi menutupi keadaan sebenarnya.


Memang tak gampang menjelaskan semua pada anak itu. Ia masih belum genap enam tahun. Marwan sendiri selalu berusaha menghindari jawaban langsung bila anaknya bertanya, “Kok kartu pos Mama belum datang ya, Pa?”

“Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet nganter kemari…”Lalu ia mengelus lembut anaknya.

Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos ini akan membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.Dan, seperti pernah dituturkan Amien Rais, setiap kebohongan pasti akan melahirkan kebohongan baru, demi menutupi kebohongan sebelumnya.


Agus pun mengolah cerita dengan cerdas. Ia mengungkap sisi kehidupan banyak orang tua yang sering menutupi kenyataan meskipun terpaksa harus “berbohong”. Sebenarnya, niat Marwan baik. Ingin membahagiakan anaknya. Namun, cara yang dilakukannya salah. Terbukti, Beningnya mengetahui bahwa kartu pos yang dia terima, keesokan harinya, bukan dari Mamanya.


Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meluncur turun. Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruhnya hati-hati, tetapi bocah itu telah melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk kantor untuk melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela ia bisa melihat anaknya memandangi kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa masuk rumah.

Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.“Wah, udah datang ya kartu posnya?”

Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca.“Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu itu. “Ini bukan tulisan Mama…!”


Selain kemampuan memainkan tempo cerita, dimana Agus cukup lincah menjaga agar ketegangan demi ketegangan tetap terjaga dalam cerita, cerpen ini juga sangat mencerahkan. Saya teringat pesan Ma’ruf Mushthafa Zurayq (2003:97), seorang pakar pendidikan di Damaskus. Katanya, jika cinta tidak diajarkan di rumah, hampir tidak masuk akal mempelajarinya di mana pun. Namun, jika kebohongan tidak diajarkan di rumah, seorang anak bisa mempelajarinya di mana saja. Artinya, tidak perlu mengajarkan kebohongan di rumah, karena setiap anak dapat mempelajarinya di mana saja. Karena itu, ajarkanlah cinta.

Mengapa?

Karena pelajaran tentang cinta dan bagaimana mencinta, selayaknya diajarkan di rumah.


Menghargai AnakJIKA setiap orang tua mengetahui temuan Gardner tentang kecerdasan majemuk (multiple intelligences), pasti tidak akan ada orang tua yang “berniat” membohongi anaknya, baik sengaja maupun tidak sengaja. Karena, lambat laun, kebohongan itu akan diketahui anaknya.


Beningnya, gadis berusia enam tahun dan masih ikut play group itu, memang memiliki kecerdasan lebih. Terlihat dari kemampuannya mengenali tulisan Mamanya dan merekonstruksi daya ingat untuk menentukan bahwa kartu pos itu palsu.

Dan Marwan, orang tua yang terpaksa membesarkan anaknya sendirian setelah ditinggal istrinya, juga bukanlah orang tua yang kurang peduli, apalagi kurang cinta pada anaknya. Terlihat dari keinginan untuk menyenangkan hati anaknya, meski harus dengan mengirimkan kartu pos palsu.

Baik Beningnya maupun Marwan, sebenarnya, sama-sama cerdas.

Di sinilah letak kelebihan cerpen ini. Marwan, yang banyak akal itu, tetap saja menderita kebingungan seperti lumrahnya orang tua yang lain. Ia bingung bagaimana caranya menjelaskan tentang “kepergian” istrinya kepada beningnya, anaknya, yang baru berusia enam tahun. Tidak mudah menyampaikan berita kematian dan menuturkan segala hal tentang risiko kematian itu, apalagi kematian istrinya itu terjadi karena kecelakaan pesawat terbang dengan mayat yang tidak pernah ditemukan.


Barangkali memang harus berterus terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya?

Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali. Membiarkannya ikut ke pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena merasakan kehilangan. Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah ditemukan.


Dalam penulisan fiksi, merunut pendapat Marion Dane Bauer (2005:112), pengarang berkuasa penuh atas perjalanan waktu. Seperti yang dilakukan Agus, tidaklah penting berapa jumlah kata yang kita gunakan untuk menuliskan berapa lama sebuah peristiwa terjadi. Melainkan, berapa penting peristiwa masa lalu bagi keutuhan cerita. Hal ini dilakukan Agus ketika menuturkan kenangan Marwan terhadap Ren, istrinya, yang sangat cinta pada kartu pos. Tidak seperti dirinya. Dulu, demi menerima sebuah surat, Marwan rela merekayasa sebuah kebohongan: mengirim surat yang ditujukan untuk diri sendiri.


Kembali ke cerpen ini, Agus tidak perlu banyak menggunakan kata untuk menggambarkan kekecewaan Beningnya ketika melihat kartu pos palsu. Hanya satu-dua kalimat. Namun, itulah kekuatannya. Seolah-olah hendak menunjukkan bahwa dengan jumlah kata yang minimal, pembaca dapat menemukan keasyikan yang maksimal.

Meskipun, saya sedikit terganggu dengan cara Agus menutup cerita. Tidak seperti cara Agus menutup cerpen Piknik atau Mata Mungil yang Meyimpan Dunia.

Demikianlah, Agus menutup cerpen ini dengan begitu mudah. Layaknya dongeng masa kecil, dimana kita kerapkali disuguhi kisah tentang peri atau bidadari yang suka menjadi penolong. Atau, sosok orang yang sudah meninggal, ternyata muncul lagi untuk memberi pesan atau menenangkan hati. Begitulah, sosok sang Mama muncul membawa sendiri kartu posnya dan memberikan jawaban kepada Beningnya tentang Pak Pos yang sedang sakit.

Entah, apakah untuk membenarkan kebohongan sang Ayah, ataukah untuk membahagiakan Beningnya.
“Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara.

“Kata Mama tukang posnya emang sakit, jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri…”

Di luar konteks itu, penutup cerpen ini cukup mengejutkan, meskipun terasa sedikit mengganggu karena kemunculan sosok Ibu Ren. Namun, itu sah-sah saja dalam dunia kepengarangan.


Coba kita telisik.


Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati kain serupa kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecokelatan bagai bekas terbakar.Tentu saja, penutup seperti ini menyisakan tanya. Bagaimana jika nanti Pak Pos sudah sembuh dan tak ada lagi kiriman kartu pos dari Mamanya?

Apa yang akan dilakukan oleh Maran, kelak, jika Beningnya kembali menanyakan kartu pos yang tak kunjung tiba? Dan, jika pembaca mengajukan rentetan tanya seperti itu, berarti Agus telah berhasil “menyeret” pembaca menjadi bagian dari ceritanya.


Pada AkhirnyaBEGITULAH, Agus dengan cerdas menyuguhkan kepada kita, setidaknya, dua hal.

Pertama, bagaimana menghadirkan kejutan demi kejutan agar ritme cerita bertahan.

Kedua, bagaimana semestinya mengarang cerpen dengan cerdas dan sarat keunikan gagasan, tanpa harus meninggalkan kesan menggurui atau sok tahu, layaknya Agus bertutur tentang cara mendidik anak.


Berangkat dari telaah ini, saya berniat untuk mulai bergegas melatih diri menulis.

Siapa tahu, kelak, saya bisa menambah kaya khazanah cerpen dan sastra Indonesia.

So, saya juga berharap, Anda pun berkenan melakukan hal sama.

Tidak cukup sesuatu jika hanya dibayangkan, itu pesan Henry Ford.


Karena itu, jika terbersit keinginan menjadi “pengarang tangguh”, ayo kita mulai sekarang.


Semoga bermanfaat.


☼☼☼

Parung, 30 April 2009 01:00

Telisik Cerpen: MENERIMA ”SUAP” KARYA PUTU WIJAYA



Telisik Cerpen: MENERIMA ”SUAP” KARYA PUTU WIJAYA
Oleh : Khrisna Pabichara


Tulisan ini dimaksudkan untuk menelisik cerpen “Suap” karya Putu Wijaya.


Cerpen ini termasuk nominator penerima Anugerah Sastra Pena Kencana Tahun 2009.

Dinukil dari buku “20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009”, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Cetakan pertama, Februari 2009, hal. 118-128. Dipublikasikan pertama kali oleh Jawa Pos, 21 September 2008


MENERIMA ”SUAP” PUTU WIJAYA

Sebuah Telisik Ringan: Khrisna Pabichara


APAKAH menurut Anda, mengarang cerpen itu hanya merupakan batu loncatan untuk menulis bentuk sastra lain yang lebih serius? Apakah menurut Anda, cerpen hanya pelengkap kesusatraan belaka?

Apakah bagi Anda, menulis cerpen itu pekerjaan ringan, perintang waktu, tidak benar-benar serius, dan bisa dikerjakan dalam satu hingga dua jam?

Jika jawaban Anda untuk semua pertanyaan di atas adalah ”Ya”, Anda keliru. Sangat keliru. Cerpen bukan batu loncatan. Bukan pula ”pekerjaan” yang bisa diselesaikan dalam hitungan hari, apalagi jam. Bukan juga pekerjaan ringan yang dipilih untuk menghabiskan waktu luang. Saya tidak bermaksud menakut-nakuti.

Namun, persepsi yang salah tentang cerpen itu, harus segera dibenahi, dikembalikan pada jalur yang benar.


Perihal kedudukan cerpen, Budi Darma dalam Solilokui (1983) menyatakan bahwa pendapat sebagian pengarang yang menjadikan cerpen sebagai batu loncatan semata adalah sikap kepengarangan yang sangat keliru. Ketika muncul sinyalemen krisis sastra pada tahun lima puluhan, cerpen justru tampil sebagai pemegang hegemoni sastra Indonesia. Jadi, dalam hal proses penggarapan, cerpen itu dunia yang ”serius”. Bukan proyek main-main atau pekerjaan asal-asalan. Apalagi sekadar ban serep untuk membunuh waktu luang.


Salah seorang sastrawan yang mengarang cerpen dengan serius adalah Putu Wijaya.

Saya, sebagai bentuk apresiasi terhadap kepengarangannya, akan menelisik cerpen Suap, karya Putu. Cerpen ini dipublikasikan oleh Jawa Pos pada 21 September 2008. Selain itu, cerpen ini termasuk dalam 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2009 yang berhak dinominasikan untuk menerima Anugerah Sastra Pena Kencana 2009.


Mari kita bertualang di dunia Putu.

Budaya Suap di Negara KorupPERUT kerapkali merubuhkan bangunan moral: yang diyakini dalam hati sebagai kepercayaan, atau di kepala sebagai pikiran. Desakan kebutuhan bisa mengubah seorang yang idealis dan bermoral menjadi maruk dan tamak. Tuntutan perut bisa membutakan hati seseorang sehingga rela melakukan tindakan yang bertentangan dengan nuraninya. Itulah mengapa sehingga banyak agama menganjurkan puasa sebagai terapi ampuh untuk meredam ”godaan perut” itu.


Indonesia termasuk negara terkorup di dunia. Salah satu budaya ”buruk” yang mengakar kuat dalam negara korup ini adalah ”budaya suap”. Nyaris tak ada ruang di negeri ini yang bebas dari suap. Dari preman hingga politisi semuanya terjangkiti virus suap. Dari pengurus RT hingga pejabat tinggi negara bisa disuap. Dari seniman hingga pemuka agama biasa menerima suap. Maka, tidak heran jika Indonesia berada di garda terdepan negara dengan tingkat korupsi tertinggi.Fenomena apa yang paling sering kita saksikan melalui berbagai peristiwa sehari-hari? Media massa, khususnya surat kabar dan televisi, membuka banyak ruang informasi tentang pejabat yang tertangkap basah sedang ”disuap” atau ”menyuap”. Anehnya, mereka yang tertangkap itu sering tidak merasa risih. Atau, jengah. Mereka tampak biasa-biasa saja. Kita bandingkan dengan maling ayam yang tertangkap basah. Pasti bakal digebuki beramai-ramai, lalu di arak keliling kampung untuk dipermalukan sehina-hinanya.

Itulah yang dibidik Putu lewat cerpennya, Suap.


Sebagai warga negara, Putu meyakini ada yang harus dibasmi. Ya, budaya korup itu. Bandura (1989) meyakini bahwa perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Jika otak kita selalu dipenuhi oleh ”materi” dengan segala cara untuk mendapatkannya, tak peduli itu halal atau haram, maka perilaku kita membenarkan suap.


Meskipun, hati kita sebenarnya menyangkal keras.Coba telisik keadaan sekitar Anda. Urusan surat-surat di kantor Kelurahan saja acapkali menggunakan istilah ”jalur tol” atau ”jalur lambat”. Jalur tol, dengan bumbu suap, akan selesai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sedangkan jalur lambat, dengan biaya sebenarnya, akan dikerjakan dalam waktu yang selambat-lambatnya. Mau mendaftar jadi PNS, polisi, tentara, atau apa saja, banyak orang rela ”menyuap”. Mau masuk sekolah favorit saja sering menggunakan jasa ”amplop khusus”. Guna memenangkan tender, jurus ”menyuap” pun berlaku. Agar terbebas dari jerat hukum, suap bisa menjadi alternatif yang ampuh. Pejabat negara doyan suap. Anggota dewan pun menerima suap. Begitu juga dengan penegak hukum. Bahkan, seniman saja menerima suap, seperti dikisahkan Putu dengan cerdas. Dan, lugas.Wahyu itu Bernama Suap.

SUAP adalah gambaran bangsa yang limbung.

Suap adalah bukti ketidakberhasilan pembangunan mental.

Suap adalah lambang kegagalan para pemuka agama melanjutkan tugas ”kenabian”.

Suap adalah bukti nyata ketidakampuhan kurikulum moral di bangku sekolah.Intrik dunia suap, dengan balutan humor dan komedi penuh kejutan lewat alur yang berkembang tak terduga, membuat cerpen ini menarik untuk dibaca, dikaji, dan ditelisik. Begitu saya mulai membaca cerpen ini, saya merasa terhisap ke dalamnya. Larut. Hanyut.


Ayo kita coba membaca paragraf pertama.

Seorang tamu datang ke rumah saya. Tanpa mengenalkan diri, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Dia meminta agar di dalam lomba melukis internasional, peserta yang mewakili daerahnya, dimenangkan. ”Seniman yang mewakili kawasan itu sangat berbakat,” katanya memuji, ”keluarganya turun temurun adalah pelukis kebanggaan wilayah kami. Kakeknya dulu pelukis kerajaan yang melukis semua anggota keluarga raja. Sekarang dia bekerja sebagai opas di kantor gubernuran, tetapi pekerjaan utamanya melukis. Kalau dia menang, seluruh dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang mengalami musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat lebih sibuk mengurus soal-soal politik daripada soal-soal kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam kebutaan, TBC, mati muda, akan terselamatkan. Saya harap Anda sebagai manusia yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama, memahami amanat ini. Ini adalah perjuangan hak asasi yang suci.


”Apa yang Anda bayangkan ketika membaca paragraf di atas? Apakah Anda menangkap gejala telah putusnya urat malu dari tamu sang tokoh cerita? Jika jawaban Anda ”ya”, berarti Anda merasakan hal sama seperti yang saya rasakan.

Tanpa mengenalkan diri, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Kalimat ini cerdas. Kalimat ini merupakan pernyataan tegas bahwa ”budaya suap” bukan lagi sesuatu yang tabu, yang harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi.


Apa tujuan tamu itu menyuap? Dia meminta agar di dalam lomba melukis internasional, peserta yang mewakili daerahnya, dimenangkan. Kalimat ini menjelaskan kenapa, mengapa, dan untuk apa tamu itu menyuap. Latar historis keluarga pelukis yang ingin dimenangkannya menjadi argumen pemikat. Belum lagi jika ditambah dengan latar belakang ”kemelaratan” keluarga pelukis itu. Dan, paragraf pembuka itu ditutup dengan pernyataan sang tamu yang ”menyinggung” kemuliaan hati sang tokoh. Sang tokoh, digambarkan Putu sebagai ”Saya”, akhirnya berada di simpang jalan.

Dalam dilema, dalam keraguan. Ia berusaha keluar dari benturan nuraninya dengan fenomena realitas yang kembali meletakkan pelaku korup sebagai pesakitan. Ia gamang.

Saya langsung pasang kuda-kuda.

”Maaf, tidak bisa.Tidak mungkin sama sekali. Juri tidak akan menjatuhkan pilihan berdasarkan kemanusiaan, tetapi berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus atau tidak.”

”Tapi, bukankah karya yang bagus itu adalah karya yang membela kemanusiaan dan bermanfaat bagi manusia?”

”Betul. Tapi, meskipun membela kemanusiaan, kalau tidak dipersembahkan dengan bagus atau ada yang lebih bagus, di dalam sebuah kompetisi yang adil, tetap tidak akan bisa menang.”


Søren Kierkegaard (1847) menyatakan, pilihan adalah sesuatu yang sangat menentukan kandungan kepribadian. Dalam pilihan, kepribadian membenamkan diri pada apa yang dipilihnya. Dan, jika ia tidak memilih maka berarti ia telah menyia-nyiakan peluang. Putu, secara sadar, bermain di ruang psikologis itu.


Menguak sisi humanis seorang seniman, dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, seperti layaknya seniman pada umumnya. Sang tokoh dibawa ke tempat paling gelisah untuk menentukan pilihan. Jujur atau serong. Jujur dapat keropong, serong bakal kenyang.Sebuah penggambaran karakter tokoh yang khas dan manusiawi. Seperti lumrahnya kepribadian seniman, sang tokoh dibuat dilematis.

Pada satu sisi, seperti tutur Hume (1755), sesuatu yang agung bukanlah menjadi ini atau itu, melainkan menjadi diri sendiri. Namun, bagaimana jika ”perut” menuntut yang lain? Bagaimana jika dapur butuh subsidi agar tetap ada aroma masakan yang menyengat hidung? Dan, setiap manusia pasti memiliki sisi lemah. Terutama, ketika berbicara uang. Termasuk ”saya”, tokoh rekaan Putu.
Lalu dia mengeluarkan sebuah cek kosong yang sudah ditandatangani. Saya langsung merasa tertantang dan terhina. Tetapi entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek itu membuat saya beku.


”Kalau wakil kami menang, Bapak boleh menuliskan angka berapa pun di atas cek kontan ini dan langsung menguangkannya kapan saja di bank yang terpercaya ini.”

Saya bergetar. Itu sebuah tawaran yang membuat syok.Siapa yang tidak tergoda jika berada dalam posisi seperti ”saya”?

Maka, terjadilah kontradiksi dalam hati. Rasa muak atas ketidakberdayaan memenuhi kebutuhan keluarga, serta godaan rupiah yang berada di depan mata, memaksa ”saya” pada keharusan memilih. Dan, ia sekarang punya peluang menjadi orang kaya. Tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. Atau, siang-malam memeras pikiran. Tinggal mengangguk. Maka, ia bisa berucap: selamat tinggal kemelaratan.


Bagi Marion Dane Bauer (2005), ada tiga fungsi penting dialog dalam sebuah cerita, yakni

(1) dialog itu mengungkapkan karakter tokoh,

(2) memberikan informasi kepada pembaca,

dan (3) menggerakkan cerita. Putu, dengan cermat, memenuhi ketiga fungsi penting dialog itu sekaligus.


Coba kita telisik lagi.


Saya memang tidak percaya. Tapi saya tidak ingin memperlihatkannya.

”Anda tidak percaya pada kami?”

”Bukan begitu.”

”Jadi bagaimana? Apa Anda lebih suka kami datang dengan uang tunai? Boleh. Begitu? Berapa yang Anda mau?”

Saya tak menjawab.

”Satu miliar? Dua miliar? Lima miliar?”

Saya terkejut. Bangsat. Dia seperti menebak pikiran saya.


Dialog tokoh tamu, pada petikan cerpen di atas, memperlihatkan karakter yang progresif, yang kukuh, yang tidak mau berhenti sebelum semua keinginannya terpenuhi. Sementara dialog tokoh ”saya”, menunjukkan adanya idealisme, sekaligus sifat peragu, tidak tegas.

Tentulah Putu telah melewati serangkaian riset yang menggerakkan hatinya untuk menulis cerpen ini. Dengan begitu, Putu ingin berbagi tentang potongan realitas. Dimana seniman sebagai pihak yang paling getol menyuarakan ”pemberontakan” terhadap perilaku korup dan suap, justru diletakkannya sebagai tokoh yang rentan suap.


Apakah ini sekadar imajinasi?

Jawaban saya: setengah ya setengah tidak.

Mengapa?

Hal seperti ini bisa saja terjadi.


Begitulah, Putu memainkan bagian paling sensitif dalam diri manusia, hati.Sebuah Kegilaan dan KeliaranAPAKAH tokoh saya tergoda bujuk-rayu tamunya itu? Apakah ia akhirnya menerima suapan itu? Bukan Putu namanya jika tidak piawai membuat kelok, tanjakan atau tikungan tajam dalam cerpennya. Begitu pula dalam Suap.


Dengan mahir, Putu menyesap saya ke dalam ruh cerita.

Tanpa terasa. Putu menciptakan konflik dengan kemasan yang lucu, yang bisa membuat kita kaget, sekaligus tertawa terbahak, atau malah tercenung. Butuh keterampilan khusus melakukan hal seperti itu.
Saya memberi isyarat untuk menolak. Tapi orang itu terlalu sibuk, mungkin sengaja tidak mau memberi saya kesempatan. Waktu itu anak saya yang baru berusia 4 tahun berlari dari dalam. Dia memeluk saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi, sebelum tertangkap, anak itu mengubah tujuannya. Dia mengelak dan kemudian mengambil kedua amplop yang menggeletak di atas meja.”Ade, jangan...!”Tapi amplop itu sudah dilarikan keluar.Seandainya Anda yang mengarang cerpen ini, apakah Anda akan menulis sama seperti imaji liarnya Putu? Tentulah berbeda. Karena Anda dan Putu pastilah berbeda. Tapi kita harus mengakui kepiawaian Putu dalam membelokkan cerita. Tidak terduga. Tidak mudah tertebak. Dan, saya yakin, Anda pasti memiliki kekuatan yang sama, jika terus berlatih. Sebagaimana Putu berlatih.


Jika ada aturan dalam menulis cerpen, pesan Carmel Bird (1988), aturannya sangat sederhana: ”jangan membosankan”.

Di lain pihak, Clarissa Pinkola Estes berpendapat agak nyeleneh. Katanya, keliaranlah, bukan kepatutan yang menjadi urat nadi, yang menjadi inti, yang menjadi batang otak, dari penulisan kreatif.Putu memakai kedua pendapat itu, menulis cerita yang tidak membosankan dan keliaran imajinasi. Kemunculan sang anak, seperti disengaja sebagai efek komedi, sekaligus solusi ”bijak” yang menjebak tokoh utama. Memaksa sang tokoh berada dalam situasi yang semakin tidak menguntungkan. Paragraf di bawah ini akan membuktikan betapa lihai Putu memainkan keliaran imajinya.

Terlambat.

Anak saya melemparkan kedua amplop itu ke dalam kolam. Kedua-duanya. Ketika saya tangkap, dia diam saja. Matanya melotot menentang mata saya. Seakan-akan dia marah, karena bapaknya sudah mengkhianati hati nurani. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud menerima suapan itu. Saya hanya memerlukan waktu dalam menolak. Saya kan belum berpengalaman disuap. Apalagi menolak suap. Itu memerlukan keberanian mental. Baik menerima maupun menolaknya.Kedua amplop itu langsung tenggelam. Sudah jelas sekali bagaimana beratnya. Perasaan saya rontok. Dengan menghilangkan akal sehat saya lepaskan anak saya, lalu terjun ke kolam. Dengan kalap saya gapai-gapai. Tapi kedua amplop itu tak terjamah.Para tetangga muncul dan bertanya-tanya. Heran melihat saya yang biasa jijik pada kolam yang sering dipakai tempat buang hajat besar itu, sekarang justru menjadi tempat saya berenang. Bukan hanya berenang, saya juga menyelam untuk menggapai-gapai. Tidak peduli ada bangkai ayam dan kotoran manusia, amplop itu harus ditemukan. Dengan berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu lenyap, berarti saya sudah makan suap. Hampir setengah jam saya menggapai-gapai menyelusuri setiap lekuk dasar kolam. Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan: bahaya.


Hare gene, siapa yang tidak perlu uang?

Ya, amplop itu harus ditemukan. Mau tidak mau. ”Saya” harus bertanggung jawab. Itu risiko.Selain karena transaksi suap-menyuap belum sah atau belum ijab-qabul, juga karena amplop itu berisi uang. Materi yang bisa mengangkat keluarga ”saya” ke atas garis kemiskinan. Tapi, amplop itu tak ditemukan. Di sinilah terlihat kepiawaian Putu memainkan bahasa. Lewat bahasa sederhana, sangat bersahaja, tanpa banyak sentuhan metafora, tapi sukses menyampaikan pesan. Sukses mengusung ”kisah” yang hendak didongengkan.
Saya termenung. Apa pun yang saya lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak dengan tegas, berarti saya sudah menerima. Ketidak-mampuan saya untuk tidak segera menolak karena kurang pengalaman, tak akan dipercaya. Siapa yang akan peduli. Masyarakat sedang senang-senangnya melihat pemakan suap digebuk. Kalau bisa mereka mau langsung ditembak mati tanpa diadili.Lantas, bagaimana dengan amplop itu? Putu memasukkan potongan peristiwa baru ke dalam cerita. Seorang anak tetangganya meneruskan misinya mencari amplop itu di kolam. Dan, ia menemukan amplop itu. Dengan penuh sukacita, ”saya” memberi upah kepada bocah itu selembar uang lima puluh ribu, tapi istrinya protes. Lalu menukarnya dengan tiga lembar uang ribuan. Sebuah proses menuju klimaks yang apik. Dan, asyik. Saya berasa sedang di ayunan, naik-turun.Beruntung pula, ternyata peserta lomba yang dimintakan dukungan oleh penyuap itu, keluar sebagai pemenang. Bak ketiban durian runtuh. Selain memang pantas menang, mayoritas juri lain juga mendukung peserta dari daerah itu. Entah, apakah mereka juga disuap seperti ”saya”, tak peduli. Yang penting, ”saya” tidak harus mengembalikan dua amplop berisi uang itu.Selama ini, ”saya” memperlakukan kedua amplop itu layaknya berhala. Disayang, dirawat, dijaga, dan dilindungi. Alasannya karena ”saya” menganggap amplop itu sebagai kunci memasuki masa depan.

Kemudian, bagaimana penutup kisah ini?

Jangan harap kisah ini berakhir seperti tebakan kita, bahagia. Jangan pula menduga tokoh ”saya” mengembalikan amplop itu, karena tanggung jawab moral.

Lantas, apa yang terjadi?
Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop itu dan intip isinya. Kemudian dengan bernafsu, barang yang sempat saya berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar semua ketika menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya tumpukan kertas-kertas putih.Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua dan preteli. Sama saja. Isinya juga hanya kertas. Di situ mata saya mulai gelap. Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan amplop itu, lalu gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya menyerahkan kepada saya. Bangsat. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan rumahnya dan membeli motor? Saya S2, dia SMP saja tidak tamat.Dua paragraf yang ciamik. Dahsyat.


Putu sukses menggiring pembaca ke tikungan tajam itu. Kemudian menyodorkan sebuah kenyataan baru. Pendapat bahwa orang melarat dan berpendidikan rendah pasti jujur, sebagaimana sering ditonjolkan sinetron belakangan ini, ternyata tidak sepenuhnya benar.

Selalu ada sisi baik dan buruk pada semua lapisan masyarakat.


Putu lalu menutup Suap dengan hebat.

Tokoh ”saya” diciptanya sebagai karakter yang tidak legowo. Yang tidak bisa menelan kekecewaannya begitu saja. Malah bertindak anarkis, yakni menghujani rumah baru tetangganya dengan batu. Termasuk motor barunya. Sekolah Anti KorupsiSAYA, sebagai seorang pemerhati pendidikan, sadar bahwa pembentukan karakter merupakan bagian penting kinerja pendidikan. Namun, tidak berarti bahwa harus kita lakukan secara instan dan terburu-buru.


Cerpen ini mengetuk nurani kita. Betapa banyak nilai moral yang sudah bergeser. Tentu saja, kita tidak bermaksud mewariskan kebobrokan itu pada generasi berikutnya. Akan tetapi, tidak pula lantas kita paksakan kurikulum reaktif, sebagai upaya menangkal perilaku suap-menyuap itu. Kurikulum yang hanya menyentuh permukaan saja. Dangkal. Tidak menyentuh hati. Tidak menyesap ke kedalaman sanubari.


Wacana pembentukan Sekolah Anti Korupsi, kantin kejujuran, atau Pendidikan Anti Korupsi sebagai pengganti PPKn, perlu digali dan dikaji lebih mendalam. Bukan berarti menolak, melainkan menyarankan agar pendidikan tidak terjerembab pada kedangkalan. Segera kita benahi moral bangsa ini secara santun dan bijak.Cerpen ini, memberi lampu merah bagi kita.


Sesungguhnya, kita masih dapat membicarakan cerpen Suap ini lebih jauh. Kita bisa menelisik sisi imajinasinya, seperti Julien De La Mettrie menempatkan perkara imajinasi sebagai sesuatu yang vital. Bisa juga menggunakan pendekatan fenomenologis seperti sudut pandang Rudolf Otto. Bahkan, kita bisa menggunakan pendekatan arkatipe (tipe induk) yang dengan leluasa memanfaatkan berbagai disiplin ilmu untuk menguak lebih dalam dan lebih luas kekayaan teks yang dikandung cerpen ini.Oleh karena itu, jika Anda butuh hiburan atau bacaan bermutu, cerpen ini layak menjadi pilihan. Jika Anda ingin mengasah kemampuan mengarang, cerpen ini patut jadi bahan perbandingan.

Semoga tulisan ini menginspirasi Anda.


☼☼☼

Parung, 2 Mei 2009 11:30

NEGARA DAN KERAJAAN DI NUSANTARA



NEGARA DAN KERAJAAN DI NUSANTARA
Penulis : Solichin dan Iwan Gunawan



Sebutan nusantara penting dipertahankan bagi negara Indonesia, karena merupakan hasil dari dialektika antara pengalaman menjadi sebuah bangsa, pengamalan Pancasila dalam hidup bernegara, dan ikut serta dalam memajukan kehidupan dunia. Istilah yang terbentuk atas pemahaman kawasan yang menjadi lingkungan hidupnya. Dimana nusantara bisa dimaknai dalam tiga aspek yang melingkupinya, yaitu wilayah, wawasan dan hubungan politik.Wilayah Nusantara.

Arti nusantara pada satu sisi, dinyatakan adalah nama bagi seluruh kepulauan Indonesia (KBBI: 1989). Namun pada sisi lain, nusa artinya kepulauan, antara artinya di antara dua benua dan dua samudera. Benua Asia dan Australia, serta samudera Hindia dan Pasifik. Dengan demikian, pengertian nusantara sesungguhnya adalah wilayah kawasan kepulauan dimana terdapat negara-negara, termasuk Indonesia. Sebagai negara kepulauan, terbentang sekitar tujuh belas ribuan pulau, mulai dari Sabang sampai Marauke. Merupakan kesatuan utuh, dimana lautan berfungsi menjadi penghubung, bukan pemisah.Luas lautan Indonesia dua kali lebih besar dari daratan. Karenanya, negara penting memiliki penguasaan atas kelautan atau kemaritiman. Untuk menjamin kedaulatan wilayah dari berbagai ancaman dari luar, melalui pembangunan pertahanan yang handal dan hubungan ekonomi yang adil. Demi berkembangnya pengelolaan potensi dari sumber-sumber kesejahteraan rakyat. Dimana lautan di nusantara tidak hanya sekedar penghubung pulau dan negara, namun juga sebagai jalan silang antar benua. Karenanya, ia dapat dipandang sebagai wilayah ruang hidup yang terbuka. Sehingga diperlukan suatu pemilikan wawasan yang luas terhadap dunia luarnya (outward looking) untuk memajukan penguasaan atas perwilayahan negara.Wawasan Nusantara. Untuk menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah dan jati diri, bangsa Indonesia jangan sampai kehilangan hak atas nusantara. Karena ia bukan hanya sekedar wilayah kawasan, akan tetapi juga wawasan dalam mewujudkan kedaulatan. Dimana wawasan nusantara adalah konsep kesatuan politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, dan sosial budaya. Yang dimaksudkan sebagai cara pandang Indonesia terhadap dinamika yang mengelilinginya. Karenanya, nusantara selain lokasi geografis yang menjadi penghubung wilayah. Juga, pandangan politik sebagai kehendak untuk maju dan bermartabat bersama negara di sekitar dan dunia.Politik Nusantara. Sebagai negara, Indonesia berpenduduk dalam jumlah yang besar dengan komunitas primordial yang sangat beragam. Dan sebagai wilayah, merupakan negara yang sangat luas dengan potensi kekayaan alam melimpah. Oleh karena itu, bagi Indonesia sangat penting untuk membina perdamaian di kawasan nusantara. Sehingga tercipta lingkungan kondusif bagi kehidupan negara. Melalui pengertian nusantara, nilai-nilai bersama perlu dicapai untuk menjamin tumbuhnya persahabatan dan kerjasama. Dan dengan itulah, diharapkan Indonesia sanggup menjadi negara besar yang diakui dunia dari kawasan yang menjadi lokasi hidupnya.Melalui kawasan dan wawasan nusantara, Indonesia bersama negara lainnya perlu terus meningkatkan hubungan. Dimana pengertian nusantara merupakan kunci bagaimana maksud-maksud dari hubungan antar negara di Asia, Australia, Pasifik, dan juga dunia global dapat tercapai. Sebab pada kenyataan, di antara negara selalu tidak dengan mudah untuk saling menghormati dan menghargai kedaulatan dari lainnya. Kenyataan yang perlu diterima sebagai tantangan untuk mampu mengembangkan tatanan perdamaian di nusantara. Sehingga, ia perlu dipahami sebagai cakrawala pandang terbuka dalam mempertahankan wilayah dan memajukan kesejahteraan warga. Maka itu, selain diperlukan keunggulan pertahanan juga penting untuk mengokohkan kehidupan demokrasi. Sebagai bentuk upaya terbuka untuk menemukan cara terbaik dalam mewujudkan kedaulatan atas seluruh wilayah negara.Dalam hubungan antar negara, Indonesia memiliki pengaruh yang tidak kecil. Soekarno berhasil merebut kembali Irian Barat dari Belanda. Lebih dari itu, ia bahkan menjadi tokoh sentral di Asia dan Afrika. Sementara, Soeharto berhasil mengendalikan Timor-Timur dan sanggup membina hubungan regional di ASEAN (Asosiasi negara-negara Asia Tenggara). Dimana selama berkuasa sangat dihormati para kepala negara ASEAN. Dalam era reformasi kini, sebagai negara berpenduduk banyak dan beragam, Indonesia dikenal sebagai negara besar yang sanggup menjalankan politik secara demokratis, selain oleh Amerika dan India. Suatu keunggulan yang telah diakui dunia dan perlu terus menerus disempurnakan agar memberikan keadilan sosial bagi segenap rakyat Indonesia.Namun demikian, kini masih terjadi penggerogotan di berbagai sudut wilayah. Kecenderungan dari gejala lemahnya kesanggupan negara dalam mewujudkan kedaulatan. Wawasan nusantara dengan demikian, penting untuk dipahami kembali (reinterpretasi) sebagai dasar untuk mempertahankan keutuhan wilayah dan memelihara ruang politik negara. Malaysia mungkin sudah sejak lama mengerti akan wawasan orang Indonesia, karena Sriwijaya pernah berkuasa di wilayahnya. Juga Australia yang tak menghendaki Indonesia kuat, karena menganggap bisa menjadi ancaman terhadap wilayah dan pengaruhnya. Tercermin dari sikap konfrontasi atas penguasaan Timor-Timur di jaman orde baru. Bahkan, negara kecil Singapura berlindung kepada Amerika agar kepentingannya tidak terbatasi oleh kedaulatan wilayah negara sekitar, termasuk Indonesia.Wawasan nusantara sebagai pandangan kewilayahan dan kewargaan, dengan demikian implementasinya sangat tergantung pada mutu pemerintahan dan taraf hidup penduduknya. Melalui pemerintahan yang handal dan bersih, akan tercipta kekuatan untuk memberikan perlindungan terhadap wilayah dan rakyatnya. Dan kehidupan penduduk yang unggul sejahtera menjadi fondasi bagi martabat bangsa. Namun, bila pemerintahan dan rakyat lemah maka wilayah negara dan martabat bangsa mudah digerogoti oleh lain negara. Seperti Malaysia dan Singapura yang kini mengklaim perwilayahan di sekitar Selat Malaka. Dan tak jarang warga Indonesia mengalami pelecehan menyakitkan dalam pergaulan di kawasan dan dunia. Potret dari masih lemahnya pemerintahan dan warga memajukan kehidupan bernegara.Suatu peringatan bahwa negara kepulauan yang terbentang luas ini, usianya tidak akan bertahan lama. Jika, tak tumbuh tekad dan pemikiran maju untuk mendapatkan posisi yang layak di tengah dinamika sekitarnya. Memerlukan perikehidupan dunia yang damai dengan memelihara ketertiban kawasan melalui jalinan persahabatan dan kerjasama atas dasar kemerdekaan dan keadilan sosial. Sinyal yang harus menjadi greget bagi bangsa, untuk sanggup melampaui keunggulan dari kerajaan-kerajaan generasi masa lalu. Sriwijaya berdaulat sepanjang 325 tahun dan Majapahit 227 tahun dengan penguasaan terhadap wilayah yang luas dan segenap penduduknya. Pengalaman bangsa yang penting bahwa untuk pengamalan pancasila dalam mencapai kehidupan Indonesia yang adil dan makmur.Pasang Surut Negara-negara. Secara historis, di wilayah Indonesia pernah berdiri lebih dari 22 kerajaan atau negara. Diawali dari kerajaan Kutai yang dipimpin oleh Mulawarman pada tahun 400 di bagian timur Kalimantan. Sampai NKRI sekarang yang diperjuangkan melalui revolusi kemerdekaan dari penjajahan Belanda pada tahun 1945. Diantara itu, Sriwijaya dan Majapahit merupakan negara besar yang masing-masing berdiri pada tahun 700 dan 1293 dengan masa kebesaran yang panjang.Usia. Selain dari Sriwijaya dan Majapahit, kerajaan lainnya telah mencapai kejayaan melalui usia yang mencapai lebih dari seratus tahun. Diantaranya adalah Mataram Hindu, Kediri, Pajajaran, Samudera Pasai, Mataram Islam dan Pemerintahan Hindia Belanda. Sedangkan kerajaan yang tidak sampai berusia seratus tahun diantaranya Singosari, Demak, Banten dan Ternate. Sementara itu Kutai, Tarumanegara, Kalingga, Medang, Kahuripan, Goa Makassar, Surakarta, Yogyakarta dan koloni Jepang usianya tidaklah lama.Luas. Wilayah kerajaan Sriwijaya meliputi seluruh Sumatera, Jawa, sebagian Kalimantan, dan ke arah utara hampir meliputi seluruh Asia Tenggara, termasuk Thailand. Majapahit yang berpusat di Jawa bagian timur dan didirikan oleh Raden Wijaya menguasai sebagian besar pulau Jawa, Madura, Bali dan mencapai pulau-pulau lain nusantara sebelah timur. Kerajaan Demak hampir menguasai seluruh tanah Jawa sebelum ditaklukan Belanda.Potensi. Sebagai kepulauan yang luas dan kaya, Indonesia merupakan wilayah yang memiliki daya tarik bagi berbagai bangsa untuk mendudukinya. Oleh karena itu, kerajaan-kerajaan yang berdiri merupakan jalinan yang tidak bisa dilepaskan dengan mata rantai dinamika bangsa-bangsa di dunia. Utamanya pengaruh dari kemajuan peradaban besar seperti India, Cina dan Eropa. Berkembang dengan berpijak pada kehidupan agama yang diawali dengan tersebarnya agama Hindu, Budha, Islam sampai Kristen dan lainnya. Bentuk dari karakter masyarakat yang terbuka untuk mencerap peradaban dunia melalui pergaulan hidup para penduduknya.Garis keturunan yang saling terkait diantara para raja di nusantara, mencerminkan kecenderungan feodalisme di dalam menjalankan kekuasaan bernegara. Istilah priyayi merupakan bentuk bagaimana roda kekuasaan dikendalikan. Priyayi, artinya para dan yayi atau adik raja. Yaitu, kerabat kerajaan yang kemudian diberi wilayah untuk dikuasai dengan kewajiban membayar upeti. Suatu perwujudan sistim pemerintahan yang dilaksanakan secara terpusat. Melalui upeti sebagai relasi penaklukan dengan bentuk negara yang desentralistik. Dimana para adipati memiliki otonomi penuh dalam menjalankan kekuasaan di wilayahnya sebagai raja “kecil”.Dari rentang waktu yang sangat panjang, dimulai dari hadirnya kerajaan-kerajaan. Tampak bahwa nusantara merupakan wilayah yang sangat dinamis. Mengalami keemasan dan keruntuhan, sejalan dengan kesanggupan untuk menerapkan cara-cara yang unggul dalam menguasai wilayah. Karenanya, negara-negara besar yang langgeng dengan tempo yang sangat lama adalah negara yang memiliki pengaruh wilayah yang luas di nusantara. Seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Pemerintahan Hindia-Belanda. Oleh sebab itu, terkandung khazanah pengalaman yang kaya bagi pelaksanaan kedaulatan di nusantara sebagai kawasan kepulauan.Kerajaan Sriwijaya berpusat di Sumatera bagian selatan. Secara geopolitik bisa berkembang karena globalisasi, ketika Cina dan India berhubungan dengan melewati Selat Malaka. Selat Malaka kemudian menjadi lalu lintas perdagangan skala besar yang ramai. Kerajaan yang dipimpin dinasti Syailendra ini kemudian menjadi negara maritim yang maju. Bahkan karena berada diantara dua kekuatan, mampu menjadi kekuatan ketiga, baik aspek pertahanan dan keamanan maupun ekonominya. Berkembang pesat dengan menjadi pusat peradaban agama Budha. Universitas Sakyakirti yang didirikan merupakan tempat dimana orang India sendiri belajar agama Budha di Sriwijaya.Kebesaran Sriwijaya kemudian dianggap sebagai ancaman oleh negara-negara disekitarnya. Sehingga kemudian sering menjadi sasaran penyerbuan. Serangan pertama dari Raja Medang yang berpusat di Jawa bagian timur pada tahun 990. Penyerbuan dari kerajaan Colamandala (Srilanka) terjadi berulang kali antara tahun 1023 sampai 1068. Meskipun tidak mengalami kehancuran namun secara perlahan memperlemah kendali kekuasaan yang sangat luas. Dan kemudian Sriwijaya mengalami kilas balik dengan menjadi wilayah penaklukan dari kekuasaan Majapahit.Kenyataan dimana belum terciptanya suatu tatanan bersama antar negara untuk saling menghormati kedaulatan yang telah mengakibatkan runtuhnya suatu negara. Selain dari kuatnya budaya feodalisme yang menjadi sumber terjadinya pergantian kekuasaan berdarah pada setiap negara di Indonesia. Airlangga membangun kerajaan Kahuripan dengan susah payah dan kemudian menjadi besar. Namun karena putra mahkotanya yang perempuan tidak mau jadi raja. Maka, kemudian wilayah kerajaan terbelah menjadi Kediri dan Jenggala. Disebabkan perebutan kekuasaan diantara kedua anak laki-lakinya. Dua kerajaan itu lalu bertikai sendiri dan akibatnya secara perlahan rontok.Kerajaan Singosari waktunya habis karena geger yang terkenal dengan tragedi Keris Empu Gandring. Kerajaan Demak juga mengalami pertentangan yang tajam, mulai dari jaman Raden Fatah sampai keturunannya. Pertikaian yang tak usai dalam keluarga kesultanan untuk menduduki takhta kekuasaan. Kerajaan-kerajaan itu secara internal tak pernah mengalami kehidupan yang kompak. Kekuatan balatentara dan pemerintahan kerajaannya menjadi lemah. Karena tidak pernah memiliki tatanan yang stabil, kesejahteraan rakyat tidak terjamin. Maka kerajaan-kerajaan itu usianya tidak lebih dari seratus tahun.Hanya ketika Kertanegara berkuasa Singosari bisa membangun. Namun, karena kesalahan strategi dan selalu dibayang-bayangi dendam dari kerajaan Kediri, kekuasaannya tak bertahan lama. Ekspedisi balatentara besar-besaran Singosari ke Pamalayu mengakibatkan pusat kerajaan tidak memiliki cadangan kekuatan militer untuk menghadapi ancaman luar. Karenanya, kemudian dengan mudah ditaklukan oleh Jayakatwang, raja dari Kediri. Ardaraja menantu Kertanegara yang mestinya membela kerajaan malah membocorkan kelemahan balatentara pada Jayakatwang, ayahnya sendiri. Singosari kemudian runtuh karena penghianatan dari dalam.Raden Wijaya yang juga menantu Kertanegara kemudian melarikan diri ke pamannya di pulau Madura. Namun, diperintahkan pulang ke Jawa agar mengabdi pada Jayakatwang. Ia lalu diberi daerah kekuasaan tanah perdikan di daerah Tarik, yang kemudian bernama Majapahit. Majapahit berkembang menjadi besar diawali dari munculnya pasukan Mongol yang ingin balas dendam terhadap raja Kertanegara, namun telah ditaklukan oleh Jayakatwang. Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk menaklukannya. Setelah Jayakatwang terkalahkan, Raden Wijaya berbalik menyerang pasukan Mongol yang kemudian terdesak menarik balik pasukannya. Kediri hancur kemudian Majapahit menjadi besar.Kejayaan Majapahit diawali dari kehidupan agraris dan berkembang menjadi negara maritim yang kuat. Gajah Mada, Mahapatih Majapahit memperluas jangkauan kekuasaan ke seluruh nusantara. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi perdagangan dengan India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan-kerajaan dibawahnya. Majapahit lalu berkembang menjadi pusat dari peradaban agama Hindu. Setelah mencapai puncak kejayaan pada abad ke-14, disebabkan perang saudara, perang Paregreg tahun 1405-1406. Pula pertengkaran dalam pergantian kekuasaan di tahun 1450-an. Dan timbulnya pemberontakan besar pada tahun 1468. Majapahit berangsur-angsur runtuh.Disaat Majapahit didirikan, para pedagang Islam sudah mulai memasuki nusantara. Dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di nusantara mengecil. Sehingga muncul Kesultanan Malaka sebagai konsentris perdagangan dan penyebaran Islam di nusantara. Beriringan dengan itu, Raden Patah mendirikan Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa tahun 1478. Demak di bawah Pati Unus menjadi kerajaan yang bervisi kemaritiman. Letak Jawa yang strategis ditengah kepulauan Indonesia menjadikan Demak berperan sebagai penghubung antara nusantara bagian timur dan barat. Dengan demikian perdagangan Demak semakin berkembang. Didukung oleh penguasaan atas pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir pantai pulau Jawa. Namun, pertikaian di dalam kerabat kerajaan telah menjadi penyebab dari melemahnya kekuasaan. Secara perlahan kekuatan maritim Demak melemah dengan berpindahnya pusat pemerintahan ke Pajang di tahun 1568, dari pesisir ke pedalaman.Pertikaian pada masing-masing kerajaan di Indonesia, kerap terjadi dalam setiap pergantian kekuasaan. Kenyataan dimana budaya feodal sangat kuat melekat dalam tatanan kekuasaan para raja dan menjadi sumber keruntuhannya. Dalam budaya jawa sendiri dikenal budaya “ngluruk”, dorongan untuk menaklukan. Karenanya, apakah betul budaya bangsa Indonesia halus ? Padahal riwayat kerajaan-kerajaan di nusantara para rajanya berebut kekuasaan melalui cara kekerasan. Pada budaya kekuasaan jawa juga dikenal istilah “bedah kuto, boyong putri”. Sebuah tradisi feodal yang berarti menyerang kota untuk merampas kekayaan kerajaan sebagai upeti. Cerita terkenal Roro Mendut mencerminkan hal ini. Mataram mengalahkan Jepara dengan mengutus Tumenggung Wiroguno, untuk melakukan bedah kuto terhadap Jepara, sehingga semua harta benda Jepara diboyong ke Mataram. Suatu budaya yang sangat agresif, namun dibungkus oleh hal-hal yang halus. Merongrong kehormatan dari kedaulatan suatu negara.Tumbuh dan berkembangnya banyak negara kerajaan di Indonesia menunjukan bahwa peradaban di nusantara telah lebih maju dibandingkan Eropa sebelum melakukan penjajahan. Ketika kerajaan tumbuh berdiri, Eropa belum memiliki peradaban yang berpengaruh seperti kini. Peradabannya jauh tertinggal, bahkan tengah mengalami kegelapan. Justru, ketika kerajaan-kerajaan di nusantara mencapai kejayaan bersama India dan Cina.Sampai kemudian di Eropa terjadi masa pencerahan atau aufklarung yang diawali tahun 1250. Hasil dari interaksi dengan peradaban Islam yang berkembang di Timur Tengah. Eropa lalu mengalami kemajuan pesat dan selanjutnya sanggup menjajah hampir seluruh dunia. Pada tahun 1619, Belanda mengawali penjajahan atas bangsa Indonesia. Menjajah dalam masa yang panjang sampai terjadinya perebutan kemerdekaan.Pengalaman pahit yang tak boleh dilupakan. Dijajah oleh negara kecil yang kehidupan peradaban sebelumnya jauh tertinggal. Menguasai luas Indonesia dengan mengadu domba para rajanya. Bentuk kebodohan yang harus dibayar mahal melalui penjajahan selama lebih tiga abad. Keretakan yang sering terjadi dalam pergantian kekuasaan telah menjadi peluang bagi kekuatan luar dari nusantara untuk menguasai. Menggiring kerajaan agar terjauh dari penghidupan kemaritiman menjadi negara yang agraris. Dimana lautan kemudian dikuasai Pemerintahan Hindia Belanda untuk menjajah nusantara. Dengan cara mempersempit wawasan penduduk terhadap dunia luar sebagai sumber kemajuan peradaban. Terkucil menjadi bangsa yang picik dalam suatu negara yang tidak berdaya atas penjajahan yang bertentangan dengan kemanusiaan.Dengan lahirnya NKRI struktur demokrasi dapat dibangun melalui adanya tatanan lembaga-lembaga negara dan partai-partai politik. Namun dalam implementasinya tercermin masih melekat budaya feodal. Bung Karno sebagai seorang demokrat berkuasa sampai 20 tahun. Menjadi “raja” melalui pengangkatan sebagai Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dan Presiden seumur hidup. Berakhir dengan pertikaian internal dalam bentuk terjadinya kudeta kekuasaan yang dikenal dengan Gerakan 30 September tahun 1965.Disebabkan budaya demokrasi belum mengakar, Soeharto kemudian menjabat Presiden enam kali berturut-turut melalui proses pemilihan umum sebagai prosedur utama demokrasi. Berkuasa lebih lama dari Soekarno. Awalnya bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen. Namun, kecenderungan untuk melanggengkan kekuasaan, telah mendorong pada timbulnya nepotisme. Karena menyelewengkan prinsip-prinsip demokrasi dalam bernegara. Rezim Soeharto akhirnya rontok di tahun 1998, melalui gejolak tuntutan reformasi.Itulah bukti dari kegagalan negara dalam menegakkan kehidupan demokrasi sehingga kemudian tertelikung kembali ke dalam budaya feodal. Kegagalan yang perlu selalu disadari bahwa lemahnya akar demokrasi merupakan sumber penyimpangan dalam pelaksanaan kedaulatan. Oleh karena itu, reformasi harus senantiasa berpijak pada upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa. Sehingga rakyat Indonesia menjadi grass root sejati dalam berdemokrasi.Pengalaman perlu dipetik, bahwa runtuhnya setiap kerajaan dan kekuasan di Indonesia selalu berulang oleh sebab yang sama. Utamanya karena pergantian kekuasaan yang keras dan berdarah sebagai akibat dari budaya kekuasaan yang feodalistik. Sehingga mudah mengalami perpecahan. Hendaknya bangsa Indonesia sanggup mengubah budaya feodal yang melekat di dalam praktek-praktek berkuasa. Dengan menghidupkan budaya demokrasi demi melanggengkan eksistensi negara mencapai keinginan luhurnya. Sehingga dalam suksesi kekuasaan ke depan terhindar dari tragedi kekerasan berdarah. Hasil yang telah dibangun oleh generasi terdahulu jangan sampai hancur hanya sekedar karena kepentingan sempit nepotisme dalam berkuasa. Dengan mengabaikan martabat rakyat sebagai sumber dari keberadaan negara yang berdaulat.Dimensi Kelanggengan Negara. Dari riwayat kerajaan-kerajaan di Indonesia tersimpul pesan bahwa usia yang panjang dari suatu kerajaan selalu disertai dengan kesanggupan dalam menciptakan pengaruh yang luas di wilayah sekelilingnya. Bukti dari keunggulan dalam membina tatanan bernegara melalui dimensi-dimensi kekuatan nyata bagi kelanggengannya. Dimensi kelanggengan itu diantaranya adalah balatentara sebagaimana dimiliki oleh Majapahit dengan Mahapatih Gajahmada, birokrasi seperti diterapkan koloni Belanda dan kesejahteraan ekonomi di Sriwijaya yang telah menjadi konsentris perdagangan global.Balatentara. Pasang surut negara tergantung pada kekuatan balatentara. Mahapatih Gajahmada memiliki angkatan laut yang sangat kuat dengan pimpinan Laksamana Nala sebagai Jaladimantri. Dimana untuk menguasai nusantara sebagai wilayah kepulauan mensyaratkan pemilikan angkatan laut yang unggul. Laksamana Nala sangat berperan dalam penguasaan wilayah Majapahit. Bila ada kerajaan dibawahnya mbalelo dan tidak memberi upeti tahunan, maka diserang dengan bala tentaranya. Kekuatan balatentara yang lemah mengundang konflik dan pembangkangan berkepanjangan karena tidak ada kekuatan yang dapat menaklukan. Dan sempitnya kesempatan untuk membina kehidupan rakyat yang menjadi eksistensi kelanggengannya. Oleh sebab itu kekuatan balatentara yang dikomando pemerintah pusat menjadi sangat vital.Birokrasi. Pemerintah Belanda berhasil menjajah Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan Hindia Belanda selama tiga setengah abad, disebabkan birokrasinya yang sangat handal. Birokrasi di jaman Belanda menggunakan sistem politik feodalisme dan paradigma sentralistik. Aparatnya dikenal dengan sebutan “Pangreh Praja”, kaum priyayi yang sangat taat, bersih, dan profesional dalam melaksanakan tugas. Birokrasi yang lemah membuka peluang bagi ancaman disintegrasi serta buruknya pelayanan publik. Syarat birokrasi yang kuat adalah hierarki yang jelas dan tidak terputus mulai Pemerintahan Pusat hingga Pemerintahan Daerah. Terfokus pada kualitas aparat yang disertai dengan kepastian jenjang karier dan gaji yang memadai.Kesejahteraan. Perdagangan yang maju pada masa Sriwijaya telah menjadi pondasi yang kuat untuk membina kesejahteraan rakyat dan pengembangan peradaban di wilayah yang dikuasainya. Karena itu, Sriwijaya dikenal sebagai negara besar, sejahtera, stabil dengan rentang kendali yang kokoh. Sehingga sanggup memperluas wilayah kekuasaannya. Persatuan bisa langgeng bila kehidupan rakyat di daerah sejahtera. Kemelaratan dapat memicu timbulnya pemberontakan. Bila kesejahteraan lemah kendali pemerintahan bisa menjadi kendor. Seperti terjadi para adipati pada masa Majapahit yang mbalelo karena tidak sejahtera. Berbagai kerajaan di nusantara mengalami keruntuhan disebabkan lemahnya kemampuan negara untuk mengelola ekonomi bagi kesejahteraan rakyatnya.Tiga dimensi diatas merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Tapi yang paling pertama adalah pemilikan kekuatan balatentara, khususnya kelautan. Di atas jaringan balatentara itu kemudian bisa dibangun birokrasi. Dimana dalam kondisi normal sirkulasi ekonomi rakyat dapat berkembang dan meningkatkan kesejahteraan penduduk yang menjadi sumber kedaulatan dari negara. Inilah memori, bahwa negara yang sekarang dibangun bisa hancur karena kelemahan dalam mengembangkan kekuatan-kekuatan yang menjadi dimensi kelanggengannya. Menjadi peluang bagi pihak luar untuk memecah keutuhan dari persatuan. Disaat pertikaian internal tak terkendali karena sempitnya wawasan dalam kehidupan bernegara.

MENJINAKAN KEKUASAAN



MENJINAKAN KEKUASAAN
Oleh : Iwan Gunawan


Keinginan untuk membaca kembali karya Bertrand Russell seringkali hanya ada dalam benak-pikiran. Apa sebetulnya yang menarik dibalik karyanya ? Pandangan Russel mengenai kekuasaan terngiang di kepala. Bahwa kekuasaan menurutnya bagai ENERGI. Pemisalan yang bisa mencerahkan. Cara menelisik bagaimana kekuasaan dipraktekkan dalam kehidupan bernegara. Sebagaimana dipaparkan dalam bukunya yang berjudul “Kekuasaan : sebuah analisis sosial baru”1. Bagi Russell, kekuasaan terus menerus berubah dari salah satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya. Dan tugas ilmu sosial adalah mencari hukum-hukum mengenai perubahan itu. Sebab demikian, konsep dasar dari ilmu sosial adalah kekuasaan. Sebagaimana halnya energi merupakan konsep dasar fisika. Bentuk dari kekuasaan bisa seperti kekayaan, militer, otoritas sipil, pengaruh atas pendapat dan lainnya. Tidak satu pun dapat ditempatkan dibawah yang lain dan tak bisa dianggap sebagai tiruan daripadanya. Upaya untuk membahas salah satu bentuknya hanya akan berhasil sebagian. Seperti juga kajian mengenai salah satu bentuk energi akan cacat, kecuali bila bentuk lainnya diperhitungkan. Tertuju sekilas pada kata pengantar yang ditulis Mochtar Lubis. Sangat menarik, Mochtar menorehkan kesan dari buku itu, bahwa dorongan pada kekuasaan berbentuk eksplisit pada pemimpin yang ingin berkuasa dan bersifat implisit pada manusia yang bersedia mengikuti sang pemimpin. Dengan berbuat begitu, para pendukung dan pengikut orang-orang yang berkuasa, merasa diri mereka juga telah ikut berkuasa. Dan dorongan pada kekuasaan dalam diri mereka telah terpenuhi. Tragis memang, menurut Russell, bahwa dorongan untuk berkuasa ini pada setiap orang seakan tak kenal batas. Kekuasaan, memiliki pesona tertentu pada orang yang berkuasa. Jika makan nasi ada saatnya seseorang merasa kenyang, tidak demikian dengan kekuasaan. Nafsu untuk lebih berkuasa tak ubahnya juga seperti nafsu hendak kaya, dapat berkembang seperti tak ada batasnya sama sekali.Itulah sifat nafsu berkuasa. Fenomenanya tidaklah sulit untuk ditemukan. Sejarah menukilkan, sepanjang 32 tahun Soeharto berkuasa, melalui sistim demokrasi Pancasila yang dianut orde baru, telah menjadi jalan bagi Soeharto dan para pengikutnya untuk tetap mempertahankan kekuasaan. Semakin lama, nafsu berkuasa itu semakin membuta. Hingga sampai waktunya Soeharto dan pengikutnya tidak lagi tanggap terhadap aspirasi yang menghendaki untuk turun takhta. Dan pada saatnya, badai krisis moneter yang tak disangka-sangka meruntuhkan rezim itu tanpa disadari sebelumnya. Sekaligus merontokan seluruh bangunan ekonomi yang dicapai melalui Top-Down. Konglomerasi istana yang menjadi kebanggaan dari keajaiban ekonomi di Asia Tenggara itu pun kemudian pailit dan terbanting. Buah dari demokrasi yang lalai dalam menegakan hal-hal yang benar dan melakukannya dengan cara-cara terbaik.Tentu saja, relung-relung yang terpendam dalam benak membawa untuk mencari topik yang relevan dengan fenomena kini. Demokrasi hasil reformasi yang telah mencapai 10 tahun dewasa ini, tak sedikitpun bisa merubah kondisi kehidupan rakyat banyak. Impian akan kehidupan bersama dimana tanah air dikelola dengan baik, bangsa dipimpin atas kebenaran, dan bahasa dihidupkan untuk menyatu dengan kenyataan rakyat, malah semakin jauh bukan makin mendekat. Hasil hutan dan kekayaan alam menggelontor ke negera asing tanpa memberikan kesejahteraan bagi rakyat, para pemimpin bersuka cita menipu rakyat, dan rakyat semakin bertambah frustasi mendengar makna-makna kosong ucapan para pemimpinnya. Kemiskinan kini dialami oleh sekitar 109 juta jiwa dan pengangguran menimpa hampir 11 juta orang. Ketika kata-kata dalam konstitusi (Pasal 27 ayat [2]) menyuratkan:“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” !!! Mungkin untuk memahami lebih dalam, patutnya membaca isi buku dari hulu ke hilir karya Russell itu. Namun benak hati rupanya tertuju pada bab akhir yang ditulisnya. Bab yang menggigit untuk dikunyah oleh relung-relung hati terdalam, yaitu soal “Menjinakan Kekuasaan”. Tentu saja, untuk mencernanya tidak perlu dimulai dari pertanyaan mengapa kekuasaan harus dijinakan. Karena sudah sangat nyata bahwa dalam sejarah Indonesia moderen, tak ada penguasa yang sanggup mengendalikan diri dan tanggap untuk memberikan hak-hak rakyat sepenuhnya. Selalu diiringi penggalan-penggalan sejarah memilukan tentang perampasan, pemerkosaan dan perampokan akan hak-hak rakyat oleh para penguasa di negara yang merdeka sejak 63 tahun lalu ini. Agaknya, perlu dikaji bahwa ada dua anggapan akan perkara menjinakan kekuasaan ini. Filsuf mashur Inggris itu menuliskan, di satu sisi TAO menganggapnya tidak dapat dipecahkan, dan mereka menganjurkan anarkisme. Dan pada sisi lain, para pengikut KONFUSIANISME yang mengandalkan pendidikan. Pentingnya etika dan cara memerintah yang diharapkan dapat mengubah para penguasa. Agar mengendalikan dengan bijaksana dan mampu menahan diri dari tindakan-tindakan yang berlebihan dan memiliki keutamaan. Walau bagaimanapun Russell tak hanya berangkat dari adanya gelombang demokrasi yang kini menggerus negara-negara otoriter melalui berbagai celah. Karena demokrasi adalah kepastian merenggut maut negara-negara yang secara ketat menjadikan penguasa sebagai tuannya sendiri. Sebagaimana dinyatakan Russel yang juga ahli matematika ini, “bagi setiap orang yang mempelajari sejarah atau sifat dasar manusia. Pasti memahami, bahwa demokrasi meskipun bukan suatu pemecahan yang tuntas. Tapi merupakan suatu bagian yang pokok dari pemecahan yang tuntas”. Karenanya, bagi Russell, untuk menuntaskannya selain memperhitungkan kondisi (1) politik (demokrasi), tapi juga (2) ekonomi; (3) propaganda; dan (4) psikologis dan pendidikan. Era reformasi yang telah menyokong lahirnya demokrasi politik, nampaknya telah menyuburkan banyak gagasan, bagaimana demokrasi sebagai persyaratan menjinakan kekuasaan bisa dihidupkan. Namun, antusiasme ke arah demokrasi politik itu ternyata kurang diiringi dengan kehendak untuk menciptakan demokrasi ekonomi. Sehingga kemudian timbul cetusan yang mendevaluasi demokrasi politik. Ungkapan yang dinyatakan Wakil Presiden Yusuf Kalla, beberapa waktu lalu bahwa demokrasi hanyalah alat untuk menciptakan kesejahteraan, patut disimak. Dari sisi negatif, bisa ditafsirkan sebagai kecenderungan untuk men-dispute perkembangan ke arah demokrasi politik. Tapi pada sisi positif, merupakan kritik bahwa demokrasi harus terlaksana secara efisien guna membuahkan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat. Namun demikian, apa sebenarnya kelebihan demokrasi (politik) itu ? Bagi Russell, kelebihan-kelebihannya justru bersifat negatif : Demokrasi tidak menjamin adanya pemerintahan yang baik, namun ia mencegah keburukan-keburukan tertentu2. Sementara itu, gagasan dan penerapannya di Indonesia terus bergulir ke satu gugus tanpa peduli pada ekonomi. Mungkin kita perlu menengok persyaratan ekonomi yang nampaknya kurang mendapat perhatian yang seimbang daripada politik itu. Karena hal inilah, perlu untuk mengungkap kembali kondisi ekonomi bangsa sebagai persyaratan lain untuk menjinakan kekuasaan. Dengan sendirinya, untuk memfokuskan pencerahan, perhatian terhadap propaganda dan pendidikan sebagaimana persyaratan menjinakan kekuasaan lainnya, ditampilkan menjadi bagian pelengkapnya. Bangsawan yang wafat dalam usia 102 tahun ini menuliskan, baik demokrasi (murni) maupun Marxisme bertujuan untuk menjinakan kekuasaan. Yang pertama telah gagal karena ia demokratis di bidang politik saja. Dan yang kedua gagal karena yang diperhatikan hanya bidang ekonomi. Tanpa menggabungkan keduanya, tidak mungkin dicapai apa pun yang mendekati pemecahan terhadap masalah itu. Mengapa terjadi kecenderungan demikian ? Bagi pemenang Nobel Sastra di tahun 1950 ini, kegagalan Marxisme nampaknya bersumber dari berbagai dukungan pemilikan negara atas tanah dan aneka organisasi besar lebih didominasi oleh alasan yang semata-mata politis dengan mengabaikan teknik ekonomi. Akibatnya tanpa sengaja telah memunculkan suatu tirani baru, di bidang ekonomi sekaligus politik. Seolah-olah dunia bisnis itu kepunyaan para kapitalis individual, dan tidak mau mengambil pelajaran dari pemisahan antara pemilikan dan kekuasaan.Bagaimana dengan demokrasi murni ? Analisis Russell cukup tajam. Menurutnya, perlu dibedakan antara “pemilikan” dan “penguasaan”. Sebagian besar perusahaan (di Amerika), menunjukkan semua direktur biasanya secara bersama-sama hanya memiliki sekitar satu atau dua persen dari seluruh saham, namun mereka pada hakekatnya mempunyai kekuasaan penuh atas itu. Akibatnya, kaum kapitalis para pemegang sahamnya sekalipun tak mempunyai kuasa, penghasilan darinya menjadi sangat tidak menentu. Hingga penanam modal yang bersahaja itu pun dapat dirampok dengan cara yang sopan dan sah menurut undang-undang. Dimana tidak ada bedanya dengan kekuasaan atas pemilikan dikuasai oleh negara. Oleh sebab itu, menurut Russell, walaupun pemilikan dan kekuasaan negara atas semua industri besar dan keuangan merupakan suatu persyaratan yang perlu untuk menjinakan kekuasaan, ia masih jauh dari memadai. Persyaratan itu masih harus dilengkapi dengan suatu demokrasi yang menyeluruh, lebih terjamin terhadap tirani resmi, dan dengan ketentuan-ketentuan yang lebih tegas mengenai kebebasan propaganda (baca : pers), dibandingkan dengan setiap demokrasi politik murni yang pernah ada. Ia kemudian mengutip Eugene Loys,”dan jika tidak ada alat-alat pengerem berupa pengawasan yang benar-benar demokratis dan ketentuan-ketentuan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk menegakkan legalitas yang harus ditaati setiap orang, kekuasan itu akan menjadi mesin penindasan”. Sebab, jika tidak diawasi dengan ketat kekuasaan pemerintah dan orang-orang yang menguasai industri dan keuangan akan bergabung menjadi penindas. Penjinakan kekuasaan melalui propaganda pengawasan, dengan demikian, dimaksudkan Russell, berarti mengikis watak otoriterisme teknikal yang terlindungi oleh kesewenangan yang diresmikan. Selain mencegah demokrasi yang mengarah pada kekuasaan totaliter. Sebab demokrasi dan kebebasan tanpa adanya kekuasaan dalam pengawasan dapat menjadi mesin untuk memuaskan nafsu berkuasa, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Kita tidak berharap, bahwa rakyat yang mayoritas kurang pendidikan (hanya tamatan Sekolah Dasar), kemudian berpikir bahwa tiada lagi jalan untuk menumpas kemiskinan dirinya selain dengan merampas, mencuri, merampok dan membunuh. Sebagaimana culasnya para penguasa politik dan ekonomi yang dengan lembut melakukan praktek korupsi dan kolusi, berlindung pada legalitas. Nampaknya, demokrasi hanya baru memberikan kebebasan resmi, sementara rakyat tidak memiliki “kekuatan” memadai untuk mengontrol para penguasa yang telah dipilihnya. Demokrasi yang tidak memberikan kebebasan riil (nyata) untuk meraih kesejahteraan adalah bentuk keterpasungan dan kemiskinan yang cenderung mendorong hasrat bagi lahirnya pemerintahan totaliter. Legalitas seharusnya bukan hanya menegaskan eksistensi dari otoritas, namun lebih dari itu harus memberikan kekuatan dan kemudahan untuk mengontrol perilaku penguasa sejalan dengan cita-cita kesejahteraan. Tanpa itu, bahwa demokrasi akan menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat banyak hanyalah isapan jempol belaka. Kebanyakan rakyat rupanya memilih jalan Taoisme (anarkis). Apa daya di tengah anggaran pendidikan yang ditetapkan 20% dari anggaran keseluruhan APBN, sejak amandemen konstitusi, mampet oleh tangan-tangan korup. Impitan ekonomi menjadi alasan yang selalu menjelma terjadinya kekerasan. Kekerasan kini tampil semakin memilukan. Ditandai dengan suburnya tragedi pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri. Wilayah kekuasaan keluarga yang penuh kasih kini telah runtuh sebagai benteng terakhir perlindungan para anak bangsa. “Beban hidup yang kian berat, tidak mampu ditanggung rakyat sendiri. Membuat mereka pun frustasi. Seharusnya negara membela rakyat kecil yang tidak punya” (Kompas, 29 Maret 2008). Tentu saja kita marah dan ingin bangkit melawan. Para penguasa yang sejatinya melindungi orang banyak malah abai atas tanggung jawabnya dengan memupuk kekayaan pribadi. Namun kemudian kita ingat bahwa negara yang kita punya, tidak diperjuangkan oleh kata-kata kosong melainkan oleh darah dan pengorbanan. Rivai Apin (1949) mengingatkan dalam puisinya : Ingatlah bila angin bangkit/ Bahwa daerah yang kita mimpikan/Telah bermayat/ Banyak bermayat. Dibawah matahari Indonesia, masih ada jalan untuk membangun, menghidupkan kata-kata yang sedang sekarat. Mari kita awasi implementasi anggaran di berbagai sektor yang semakin ganas di korup karena ambisi berkuasa dan ambisi menjadi pengikut para penguasa. Kita tidak berharap mayat-mayat korban demokrasi terus melimpah, mengapung diatas pusara para pejuang lahirnya Indonesia merdeka. Nasehat sesepuh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), Solikhin (70 tahun) yang beberapa hari lalu saya temui, perlu menjadi peringatan “Memang menyedihkan, tapi kita tak boleh sedih (la takhzan). Kesedihan hanyalah membuat kita menjadi bangsa tidak beradab. Bertindak hanya dengan rasa amarah meluap-luap”. Mari jinakkan kekuasaan dengan cara-cara yang beradab !!! (Igj/Maret/2008).


....

Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab?‎



Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab?‎
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi *)‎

Setiap saat, lahir orang-orang alim yang mampu menghapal isi kandungan Kitab Suci Al-Quran. Walaupun, orang buta atau anak kecil. Itulah bedanya dengan Kitab Suci lain.

“Mengapa Al-Quran diturunkan kepada seorang Nabi yang miskin dan buta huruf (ummiy)? Mengapa tidak diberikan kepada pembesar Mekkah maupun Tha’if saja?” Pertanyaan seperti ini sering terjadi. Sama halnya dengan pernyataan, “Mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab?”

Banyak dalil yang mengungkap hal ini. Diantaranya; QS. 12: 2, 14: 4, 13: 37, 16: 103, 19: 97, 20: 113, 26: 193-195, 26: 198-199, 39: 28, 41: 3, 41: 44, 43: 3, 44: 58, dan 46 : 12.

Boleh dikata, hampir semua ayat tersebut menyatakan, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dalam “bahasa Arab”. Adalah keliru jika karena Allah menurunkan Al-Quran ke dalam bahasa Arab kemudian dikatakan “tidak universal”.

Kenapa Allah memilih bahasa Arab? Bukan bahasa lain? Barangkali itu adalah hak Allah. Meski demikian, pilihan Allah mengapa Al-Quran itu dalam bahasa Arab bisa dijelaskan secara ilmiah.

Pertama, sampai hari ini, bahasa yang berasal dari rumpun Semit yang masih bertahan sempurna adalah bahasa Arab. Bahkan Bible (Old Testament) yang diklaim bahasa aslinya bahasa Ibrani (Hebrew) telah musnah, sehingga tidak ada naskah asli dari Perjanjian Lama.

Meskipun begitu, menurut Isrâ’il Wilfinson, dalam bukunya Târîk al-Lughât al-Sâmiyyah (History of Semitic Language), seperti yang dikutip Prof. Al-A‘zamî, ternyata bahasa asli PL itu tidak disebut Ibrani.

Bahasa pra-pengasingan (pre-exilic language) yang digunakan oleh Yahudi adalah dialek Kanaan dan tidak dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang Funisia (atau lebih tepatnya, orang-orang Kanaan) menemukan alfabet yang benar pertama kali ± 1500 S.M, berdasarkan huruf-huruf ketimbang gambar-gambar deskriptif.

Semua alfabet yang berturut-turut seterusnya adalah utang budi pada, dan berasal dari, pencapaian Kanaan ini. (Prof. Dr. M.M. Al-A‘zamî, The History of The Qur’ânic Text from Revelation to Compilation (edisi Indonesia), terjemah: Sohirin Solihin, dkk., GIP, 2005, hlm. 259).

New Testament (Gospel, Injil) yang diklaim bahasa aslinya adalah bahasa “Yunani” juga sudah hilang, sehingga tidak ada naskah asli dari Injil. Bahkan, ini bertentangan dengan bahasa Yesus, yang sama sekali tidak paham bahasa Yunani. Bukankah ini ‘mencederai’ saktralitas Injil yang diklaim sebagai ‘firman Tuhan’?

Kedua, bahasa Arab dikenal memiliki banyak kelebihan: (1) Sejak zaman dahulu kala hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, (2) Bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan, (3) Bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjungsi), yang amat luas hingga dapat mencapai 3000 bentuk perubahan, yang demikian itu tak terdapat dalam bahasa lain. (Lihat, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag, edisi revisi, Juli 1989, hlm. 375 (foot-note).

Ketiga, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. dalam bahasa Arab yang nyata (bilisanin ‘Arabiyyin mubinin), agar menjadi: mukjizat yang kekal dan menjadi hidayah (sumber petunjuk) bagi seluruh manusia di setiap waktu (zaman) dan tempat (makan); untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya: dari kegelapan “syirik” kepada cahaya “tauhid”, dari kegelapan “kebodohan” kepada cahaya “pengetahuan”, dan dari kegelapan “kesesatan” kepada cahaya “hidayah”.

Tiga poin itu berjalan terus atas izin Allah sampai dunia ini hancur, yakni Risalah (Islam), Rasul (Muhammad SAW) dan Kitab (Al-Qur’an)). (Lihat, Prof. Dr. Thaha Musthafa Abu Karisyah, Dawr al-Azhar wa Jami‘atihi fi Khidmat al-Lughah al-‘Arabiyyah wa al-Turats al-Islamiy, dalam buku Nadwat al-Lughah al-‘Arabiyyah, bayna al-Waqi‘ wa al-Ma’mul, 2001, hlm. 42).

Karena Islam itu satu risalah (misi) yang “universal” dan “kekal”, maka mukjizatnya harus retoris (bayaniyyah), linguistik (lisaniyyah) yang kekal. Dan Allah telah berjanji untuk memelihara Al-Qur’an, seperti yang Ia jelaskan, “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikra (Al-Qur’an) dan Kami pula yang memeliharanya.” (Qs. 15: 9).

Keempat, menurut Syeikhu’l-Islam, Ibnu Taimiyah, “Taurat diturunkan dalam bahasa Ibrani saja. Dan Musa ‘alayhissalam tidak berbicara kecuali dengan bahasa itu. Begitu juga halnya dengan al-Masih: tidak berbicara tentang Taurat dan Injil serta perkara lain kecuali dengan bahasa Ibrani. Begitu juga dengan seluruh kitab. Ia tidak diturunkan kecuali dengan “satu bahasa” (bilisanin wahidin): dengan bahasa yang dengannya diturunkan kitab-kitab tersebut dan bahasa kaumnya yang diseru oleh para rasul.

Seluruh para Nabi, menyeru manusia lewat bahasa kaumnya yang mereka ketahui. Setelah itu, kitab-kitab dan perkataan para Nabi itu disampaikan: apakah diterjemahkan untuk mereka yang tidak tahu bahasa kitab tersebut, atau orang-orang belajar bahasa kitab tersebut sehingga mereka mengerti makna-maknanya. Atau, seorang utusan menjelaskan makna-makna apa yang dengannya ia diutus oleh Rasul dengan bahasanya…” (Lihat, Ibnu Taimiyah, al-Jawab al-Shahih liman Baddala Dina’l-Masih (Jawaban Yang Benar, Bagi Perubah Agama Kristus), (Cairo: Dar Ibnu al-Haytsam, 2003, jilid 1 (2 jilid), hlm. 188-189).

Sebagaimana Taurat dan Injil, Al-Quran diturunkan dalam satu bahasa, bahasa kaumnya. Bedanya, kenabian yang ada sebelum Islam, hanya diperuntukkan pada kaum tertentu atau zaman tertentu (lokalitas) saja. Nuh misalnya, hanya diutus kepada kaumnya (QS. 7: 59); Hud kepada kaumnya (QS. 7: 65); Shaleh kepada kaumnya (QS. 7: 73); Luth kepada kaumnya (QS. 7: 80); Syu‘aib kepada kaumnya (QS. 7: 85); dan Musa kepada Fir‘aun dan para punggawanya (QS. 7: 103).

Dakwah Nabi saw di “Ummu’l-Qura”, sebagaimana arti yang sudah dijelaskan panjang lebar, bukan hanya dalam pengertian Mekkah semata. Juga bukan hanya untuk orang Quraisy, tidak pula untuk Jazirah Arabia saja, tapi untuk seluruh alam. (Baca QS. 25: 1, 34: 28, 7: 158, dan 9: 33).

Jika kalangan Nasrani menganggap Al-Quran tidak universal, maka, seharusnya yang lebih tidak universal justru Bible.

Meski bahasa Arab adalah bahasa yang rumit, namun bukanlah hal susah bagi umat Islam menghapalkannya. Ini berbeda dengan kitab suci lain, sebagaimana Bible misalnya. Keuniversalan Al-Quran lainnya, dibuktikan dengan bagaimana Allah menjaganya melalui orang-orang alim dan yang memiliki kelebihan dalam menghapalkannya (tahfiz). Meski terdiri dari ribuan ayat, dalam sejarah, selalu saja banyak orang mampu menghapalkannya secara cermat dan tepat. Walaupun, ia orang buta atau anak kecil sekalipun. Al-Quran, mudah dihapal atau dilantunkan dengan gaya apapun. Diakui atau tidak, ini berbeda dengan Bible atau Injil.

Karena itu, setiap usaha apapun untuk menambah atau mengurangi Al-Quran baik yang dilakukan kalangan orientalis atau orang kafir dalam sepanjang sejarah selalu saja ketahuan. Jangan heran bila banyak umat Islam tiba-tiba ribut gara-gara ada Al-Quran palsu atau sengaja dipalsukan sebagaimana terjadi dalam kasus “The True Furqon.” Barangkali itulah cara Allah menjaganya.
Dan hebatnya, para penghapal Al-Quran, setiap saat selalu saja lahir dan bisa ditemukan di seluruh dunia. Untuk yang seperti ini, di Indonesia, bahkan sudah mulai banyak dijadikan sebagai pesantren-pesantran formal.

Sebaliknya, bagi kita, belum pernah terdengar ada orang Kristen atau Yahudi yang hapal keseluruhan kitab suci mereka. Bahkan termasuk pendeta atau pastur sekalipun. Mengapa bisa demikian? Saya kira Anda lebih tahu jawabannya. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.

Sumber: tsaqafy06.wordpress.com
*) Penulis adalah mahasiswa Jurusan Tafsir-Hadits di Universitas Al-Azhar, peminat Qur’anic Studies and Christology.

Urgensi Menguasai Ilmu Syariah Bagi Seorang Muslim


Jum`at, 1 Februari 2008 00:34:41 -

Urgensi Menguasai Ilmu Syariah
Bagi Seorang Muslim

oleh : wagiran

Beberapa waktu terakhir ini, kebutuhan akan ilmu keislaman khususnya syariat Islam terasa sangat kuat. Sebab semakin hari umat ini semakin sadar pentingnya syariat Islam untuk dijadikan landasan dalam kehidupan. Secara lebih rinci, berikut ini adalah beberapa pandangan yang ikut mendorong pentingnya kita mengusai syariah.

1. Mengenal Syariah : Bagian dari Identitas Ke-Islaman Seseorang

Seorang muslim dengan seorang non muslim tidak dibedakan berdasarkan KTP-nya. Juga bukan berdasarkan ras, darah, golongan, bahasa, kebangsaan atau keturunan tertentu.Tetapi berdasarkan apa yang diketahuinya tentang ajaran Islam serta diyakini kebenarannya.

Tidak mungkin seorang bisa dikatakan muslim manakala dia tidak mengenal Allah SWT. Dan tidak-lah seseorang mengenal Allah SWT, manakala dia tidak mengenal ajaran-Nya serta syariat yang telah diturunkan-Nya.

Sehingga mengetahui ilmu-ilmu syariat merupakan bagian tak terpisahkan dari status keislaman seseorang. Maka sudah seharusnya seorang muslim menguasai ilmu syariah, karena syariat itu merupakan penjabaran serta uraian dari perintah Allah SWT kepada hamba-Nya

2. Allah SWT Mewajibkan Setiap Muslim Belajar Syariah

Mempejari Islam adalah kewajiban pertama setiap muslim yang sudah aqil baligh. Ilmu-ilmu ke-Islaman yang utama adalah bagaimana mengetahui MAU-nya Allah SWT terhadap diri kita. Dan itu adalah ilmu syariah. Allah SWT berfirman :

...Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kamu tidak mengetahui (QS. An-Nahl : 43)

Paling tidak, setiap muslim wajib melakukan thaharah, shalat, puasa, zakat dan bentuk ibadah ritual lainnya. Dan agar ibadah ritual itu bisa syah dan diterima oleh Allah SWT, tidak boleh dilakukan dengan pendekatan improvisasi atau sekedar menduga-duga semata. Harus ada dasar dan dalil yang jelas dan kuat. Karena ibadah ritual itu tidak boleh dilakukan kecuali sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Dan penjelasan secara rinci dan detail tentang bagaimana format dan bentuk ibadah yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau hanya ada dalam syariat Islam.

3. Syariah Adalah Kunci Memahami Al-Quran & As-Sunnah

Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Quran yang terdiri dari 6.600-an ayat dan Al-Hadits yang berjumlah ratusan ribu hadits. Namun bagaimana mengambil kesimpulan hukum atas suatu masalah dengan menggunakan dalil-dalil yang sedemikian banyak, harus ada sebuah metodologi yang ilmiyah

Ilmu syariah telah berhasil menjelaskan dengan pasti dan tepat tiap potong ayat dan hadits yang bertebaran. Dengan menguasai ilmu syariah, maka Al-Quran dan As-Sunnah bisa dipahami dengan benar sebagaimana Rasulullah SAW mengajarkannya.

Sebaliknya, tanpa penguasaan ilmu syariah, Al-Quran dan Sunnah bisa diselewengkan dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar. Ilmu Syariah adalah kunci untuk memahami Al-Quran dan As-Sunnah dengan metode yang benar, ilmiyah dan shahih.

Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa pencuri harus dipotong tangannya, pezina harus dirajam, pembunh harus diqishash dan seterusnya. Memang demikian zahir nash ayat Al-Quran. Namun benarkah semua pencuri harus dipotong tangan ? Apakah semua orang yang berzina harus dirajam ? Apakah semua orang yang membunuh harus dibunuh juga ?

Di dalam Syariah Islam akan dijelaskan pencuri yang bagaimanakah yang harus dipotong tangannya. Tidak semua orang yang mencuri harus dipotong tangan. Ada sekian banyak persyaratan yang harus terpenuhi agar seorang pencuri bisa dipotong tangan. Misalnya barang yang dicuri harus berada dalam penjagaan, nilainya sudah memenuhi batas minimal, bukan milik umum dan lainnya. Bahkan kriteria seorang pencuri tidak sama dengan pencopet, jambret, penipu atau koruptor.

Demikian juga dengan pezina, tidak semua yang berzina harus dihukum rajam. Selain hanya yang sudah pernah menikah, harus ada empat orang saksi lakil-laki, akil, baligh, dan menyaksikan secara bersama di waktu dan tempat yang sama melihat peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan. Tanpa hal itu, hukum rajam tidak boleh dilakukan. Kecuali bila pezina itu sendiri yang menyatakan ikrar dan pengakuan atas zina yang dilakukannya. Dan yang paling penting, hukum rajam haram dilakukan kecuali oleh sebuah institusi hukum formal yang diakui dalam sebuah negara yang berdaulat.

Dan hal yang sama juga berlaku pada hukum qishash dan hukum-hukum hudud lainnya. Sebuha tindakan hukum yang hanya berlandaskan kepada satu dua dalil tapi tanpa kelengkapan ilmu syariah justru bertentangan dengan hukum Islam sendiri.

4. Ilmu Syariah Adalah Porsi Terbesar Ajaran Islam

Dibandingkan dengan masalah aqidah, ahlaq atau pun bidang lainnya, masalah syariah dan fiqih menempati porsi terbesar dalam khazanah ilmu-ilmu ke-Islaman. Bahkan yang disebut dengan `ulama` itu lebih identik sebagai orang yang ahli di syariah ketimbang ahli di bidang lainnya.

Sehingga sebagai ilmu yang merupakan porsi terbesar dalam ajaran Islam, ilmu syariah ini menjadi penting untuk dikuasai. Seorang muslim itu masih wajar bila tidak menguasai ilmu tafsir, hadits, bahasa Arab, Ushul Fqih, Kaidah Ushul dan lainnya. Tetapi khusus dalam ilmu syarriah khususnya fiqih, nyaris mustahil bila tidak dikuasai, meski dalam porsi yang seadanya. Sebab tidak mungkin kita bisa beribadah dengan benar tanpa menguasai ilmu fiqih ibadah itu sendiri.

Memang tidak semua detail ilmu syariah wajib dikuasai, namun untuk bagian yang paling dasar seperti masalah thaharah, shalat, nikah dan lainnya, mengetahui hukum-hukumnya adalah hal yang mutlak.

5. Tinginya Kedudukan Orang Yang Menguasai Syariah

Allah SWT telah meninggikan derajat orang yang memiliki ilmu syariah dengan firman-Nya :

...Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Maidah : 11)

Sehingga tampuk kepemimpinan skala mikro dan makro menjadi hak para ahli ilmu syariah. Seorang imam shalat diutamakan orang yang lebih mendalam pemahamannya. (afqahuhum). Bukan yang lebih tua, sudah menikah, lebih senior dalam struktur pergerakan, lebih tenar atau lebih punya kepemiminan. Namun imam shalat hendaklah orang yang lebih faqih dalam masalah agama.

Demikian juga hal yang terkait dengan kepemimpinan umat, yang lebih layak diangkat adalah mereka yang lebih punya kepahaman terhadap syarait. Sejak masa shahabat dan14 abad perjalanan umat, yang menjadi pemimpin umat ini adalah orang-orang yang paham dan mengerti syariah. Paling tidak, para khalifah dalam sejarah Islam selalu didampingi oleh ulama dan ahli syariah

6. Tidak Paham Syariah Adalah Akar Perpecahan

Para ulama syariah terbiasa berbeda pendapat, karena berbeda hasil ijtihad sudah menjadi keniscayaan. Namun mereka sangat menghormati perbedaan diantara mereka. Sehingga tidak saling mencaci, menjelekkan atau menafikan.

Sebaliknya, semakin awam seseorang terhadap ilmu syariah, biasanya akan semakin tidak punya mental untuk berbeda pendapat. Sedikit perbedaan di kalangan mereka sudah memungkinkan untuk terjadinya perpecahan, pertikaian, bahkan saling menjelekkan satu sama lain.

Hal itu terjadi karena seseorang hanya berpegangan kepada dalil yang sedikit dan parsial. Tetapi merasa sudah pandai dan paling benar sendiri. Padahal dalil yang diyakininya paling benar itu masih harus berhadapan dengan banyak dalil lainnya yang tidak kalah kuatnya. Jadi bagaimana mungkin dia merasa paling benar sendiri ?

Paling tidak, dengan mempelajari ilmu syariah, kita jadi tahu bahwa pendapat yang kita pegang ini bukanlah satu-satunya pendapat. Di luar sana, masih ada pendapat lainnya yang tidak kalah kuatnya dan sama-sama bersumber dari kitab dan sunnah juga. Maka kita jadi memahami perbandingan mazhab di kalangan para fuqaha, sebab mereka memang punya kapasitas untuk melakukan istimbath hukum dengan masing-masing menhaj / metodologinya

7. Keberadaan Ahli Syariah Sangat Menentukan Eksistensi Umat Islam

Agama Islam telah dijamin tidak akan hilang dari muka bumi sampai kiamat, namun tidak ada jaminan bila umatnya mengalami kemunduran dan kejatuhan. Sejarah membuktikan bahwa mundurnya umat Islam terjadi manakala para ulama telah wafat dan tidak ada lagi ahli syariah di tengah umat.

Sebaliknya, bila Allah SWT menghendaki kebaikan pada umat Islam, niscaya akan dimulai dari lahirnya para ulama dan kembali manusia kepada syariat-Nya.

8. Tipu Daya Orientalis dan Sekuleris Sangat Efektif Bila Lemah di Bidang Syariah

Racun pemikiran Orientalis dan Sekuleris tidak akan mempan bila tubuh umat diimunisasi dengan pemahaman syariah

Bila tingkat pemahaman umat terhadap syariah lemah, maka dengan mudah pemikiran orientalis akan merasuk dan menjangkiti fikrah umat. Sebaliknya, bila umat ini punya tingkat pemahaman yang mendalam terdapat ilmu syariah, semua tipu daya itu akan menjadi mentah.

Pemahaman syariat Islam akan menjadi filter atas kerusakan fikrah umat. Sebaliknya, semakin awam dari syariat, umat ini akan semakin menjadi bulan-bulanan pemikiran yang merusak.

9. Tanpa Ilmu Syariah Bisa Melahirkan Sikap Ekstrim Membabi Buta

Sikap-sikap ekstrim dan keterlaluan dalam pelaksanaan agama seringkali menimpa banyak umat Islam. Barangkali niatnya sudah baik, yaitu ingin menjalankan ajaran agama. Tetapi bila semangat itu tidak diiringi dengan ilmu syariah yang benar, sangatbesar kemungkinan terjadi kesalahan fatal yang merugikan.

Dahulu di masa shahabat ada seorang yang terluka di kepala. Seharusnya dia tidak boleh mandi karena parah sakitnya. Namun dia berjunub pada malamnya dan pagi hari dia bertanya kepada temannya, apakah dia harus mandi atau tidak. Temannya mengatakan bahwa dia harus mandi. Lalu mandilah dia dan tidak lama kemudian meninggal. Betapa sedih Rasulullah SAW tatkala mendengar kabar itu. Sebab teman yang memberi fatwa itu bertindak tanpa ilmu dan menyebabkan kematian. Padahal seharusnya dalam kondisi demikian, cukuplah dengan bertayammum saja. Maka dia sudah boleh shalat. Tidak wajib mandi junub meski malamnya keluar mani.

10. Keharusan Ada Sebagian Dari Ummat Yang Mendalami Syariah
Kalau kita bandingkan antara jumlah orang awam dan jumlah para ulama, kita akan menemukan perbandingan yang jauh dari proporsional. Dengan kata lain, ulama di masa sekarang ini termasuk `makhluk langka` bahkan nyaris punah.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan atas jasa mereka selama ini, namun kenyataanya bahwa kebanyakan tokoh agama serta para penceramah yang kita dapati masih minim dari penguasan secara mendetail dalam kisi-kisi ilmu syariah. Tidak sedikit dari mereka yang sama sekali buta bahasa arab. Dan otomatis rujukan satu-satunya hanya buku terjemahan saja. Bahkan ketika membaca Al-Quran pun tidak paham maknanya. Apalagi membaca hadits-hadits nabawi. Dan jangan ditanya bagaimana mereka bisa merujuk kepada kajian syariah Islam dari para fuqaha sepanjang sejarah, karena nyaris semua literaturnya memang dalam bahasa arab.

Lalu kita bisa pikirkan sendiri bagaimana kualitas umatnya bila para tokoh agama pun masih dalam taraf yang kurang membahagiakan itu ?

Maka memperbanyak jumlah ulama serta menyebar-luaskan ilmu-ilmu syariah menjadi hal yang mutlak dilakukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT tentang keharusan adanya sekelompok orang yang berkonsentrasi mendalami ilmu-ilmu syariah.

Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya . Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS. At-Taubah : 122)

11. Masuk Islam Secara Kaaffah : Mustahil Tanpa Syariah
Sebagai muslim yang baik, komitmen dan konsisten dalam memeluk agama Islam, tentu kita tahu bahwa kita wajib menerima Islam secara kaaffah, tidak sepotong-sepotong. Allah SWT telah memerintahkan hal dalam firman-Nya :

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.(QS. Al-Baqarah : 208)

Tapi bagaimanakah kita bisa menjalankan Islam secara kaaffah, kalau kita tidak bisa membedakan manakah diantara perbuatan itu yang termasuk bagian dari Islam atau bukan ?

Sebab seringkali kita dihadapkan kepada bentuk-bentuk pengamalan yang disinyalir sebagai islami, tetapi kita tidak tahu kedudukan yang sesungguhnya. Katakanlah sebagai contoh mudah misalnya tentang memahami perbuatan Rasulullah SAW. Apakah semua hal yang dilakukan oleh beliau itu menjadi bagian langsung dari syariat agama ini ? Ataukah ada wilayah yang tidak termasuk bagian dari syariat ?

Lebih rinci lagi, kita dapati dalam hadits bahwa Rasulullah SAW naik unta, minum susu kambing mentah, istinja` dengan batu, khutbah memegang tongkat, di rumahnya tidak ada wc dan seterusnya. Apakah hari ini kita wajib melakukan hal yang sama dengan beliau sebagai pengejawantahan bahwa Rasululah SAW adalah suri teladan ? Apakah kita juga harus naik unta ? Haruskah kita minum susu kambing yang tidak dimasak dahulu ? Apakah para khatib wajib berkhutbah sambil memegang tongkat ? Dan tegakah kita berintinja` hanya dengan batu ? Dan haruskah kita buang air di alam terbuka, karena dahulu Rasulullah SAW melakukannya ?

Tentu kita perlu merinci lebih detail, manakah dari semua perbuatan dan perkataan beliau SAW yang menjadi bagian dari syariah dan mana yang secara kebetulan menjadi hal-hal teknis yang tidak perlu dimasukkan ke dalam ajaran agama ini. Dan untuk itu, harus ada sebuah metodologi yang bisa dijadikan patokan. Metodologi itu adalah syariat Islam.

Dengan syariat Islam, kita bisa memilah dan menentukan manakah dari diri Rasulullah SAW yang menjadi bagian dari ajaran Islam. Dan manakah yang bukan termasuk ajaran selain hanya faktor kebetulan dan teknis semata.

Penutup

Itulah beberapa hal yang perlu kita renungkan bersama. Betapa syariat Islam ini memang perlu kita pelajari dengan sebaik-baiknya. Tidak perlu menunggu dan membuang waktu. Sekaranglah waktu yang tepat untuk mulai belajar. Semoga Allah SWT memudahkan jalan kita masuk surga karena kita telah menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu keislaman selama di dunia ini.

Hanadallahu Wa Iyyakum Ajma`in

.............

Sumber : http://www.lazyaumil.org/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=15