MENJINAKAN KEKUASAAN



MENJINAKAN KEKUASAAN
Oleh : Iwan Gunawan


Keinginan untuk membaca kembali karya Bertrand Russell seringkali hanya ada dalam benak-pikiran. Apa sebetulnya yang menarik dibalik karyanya ? Pandangan Russel mengenai kekuasaan terngiang di kepala. Bahwa kekuasaan menurutnya bagai ENERGI. Pemisalan yang bisa mencerahkan. Cara menelisik bagaimana kekuasaan dipraktekkan dalam kehidupan bernegara. Sebagaimana dipaparkan dalam bukunya yang berjudul “Kekuasaan : sebuah analisis sosial baru”1. Bagi Russell, kekuasaan terus menerus berubah dari salah satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya. Dan tugas ilmu sosial adalah mencari hukum-hukum mengenai perubahan itu. Sebab demikian, konsep dasar dari ilmu sosial adalah kekuasaan. Sebagaimana halnya energi merupakan konsep dasar fisika. Bentuk dari kekuasaan bisa seperti kekayaan, militer, otoritas sipil, pengaruh atas pendapat dan lainnya. Tidak satu pun dapat ditempatkan dibawah yang lain dan tak bisa dianggap sebagai tiruan daripadanya. Upaya untuk membahas salah satu bentuknya hanya akan berhasil sebagian. Seperti juga kajian mengenai salah satu bentuk energi akan cacat, kecuali bila bentuk lainnya diperhitungkan. Tertuju sekilas pada kata pengantar yang ditulis Mochtar Lubis. Sangat menarik, Mochtar menorehkan kesan dari buku itu, bahwa dorongan pada kekuasaan berbentuk eksplisit pada pemimpin yang ingin berkuasa dan bersifat implisit pada manusia yang bersedia mengikuti sang pemimpin. Dengan berbuat begitu, para pendukung dan pengikut orang-orang yang berkuasa, merasa diri mereka juga telah ikut berkuasa. Dan dorongan pada kekuasaan dalam diri mereka telah terpenuhi. Tragis memang, menurut Russell, bahwa dorongan untuk berkuasa ini pada setiap orang seakan tak kenal batas. Kekuasaan, memiliki pesona tertentu pada orang yang berkuasa. Jika makan nasi ada saatnya seseorang merasa kenyang, tidak demikian dengan kekuasaan. Nafsu untuk lebih berkuasa tak ubahnya juga seperti nafsu hendak kaya, dapat berkembang seperti tak ada batasnya sama sekali.Itulah sifat nafsu berkuasa. Fenomenanya tidaklah sulit untuk ditemukan. Sejarah menukilkan, sepanjang 32 tahun Soeharto berkuasa, melalui sistim demokrasi Pancasila yang dianut orde baru, telah menjadi jalan bagi Soeharto dan para pengikutnya untuk tetap mempertahankan kekuasaan. Semakin lama, nafsu berkuasa itu semakin membuta. Hingga sampai waktunya Soeharto dan pengikutnya tidak lagi tanggap terhadap aspirasi yang menghendaki untuk turun takhta. Dan pada saatnya, badai krisis moneter yang tak disangka-sangka meruntuhkan rezim itu tanpa disadari sebelumnya. Sekaligus merontokan seluruh bangunan ekonomi yang dicapai melalui Top-Down. Konglomerasi istana yang menjadi kebanggaan dari keajaiban ekonomi di Asia Tenggara itu pun kemudian pailit dan terbanting. Buah dari demokrasi yang lalai dalam menegakan hal-hal yang benar dan melakukannya dengan cara-cara terbaik.Tentu saja, relung-relung yang terpendam dalam benak membawa untuk mencari topik yang relevan dengan fenomena kini. Demokrasi hasil reformasi yang telah mencapai 10 tahun dewasa ini, tak sedikitpun bisa merubah kondisi kehidupan rakyat banyak. Impian akan kehidupan bersama dimana tanah air dikelola dengan baik, bangsa dipimpin atas kebenaran, dan bahasa dihidupkan untuk menyatu dengan kenyataan rakyat, malah semakin jauh bukan makin mendekat. Hasil hutan dan kekayaan alam menggelontor ke negera asing tanpa memberikan kesejahteraan bagi rakyat, para pemimpin bersuka cita menipu rakyat, dan rakyat semakin bertambah frustasi mendengar makna-makna kosong ucapan para pemimpinnya. Kemiskinan kini dialami oleh sekitar 109 juta jiwa dan pengangguran menimpa hampir 11 juta orang. Ketika kata-kata dalam konstitusi (Pasal 27 ayat [2]) menyuratkan:“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” !!! Mungkin untuk memahami lebih dalam, patutnya membaca isi buku dari hulu ke hilir karya Russell itu. Namun benak hati rupanya tertuju pada bab akhir yang ditulisnya. Bab yang menggigit untuk dikunyah oleh relung-relung hati terdalam, yaitu soal “Menjinakan Kekuasaan”. Tentu saja, untuk mencernanya tidak perlu dimulai dari pertanyaan mengapa kekuasaan harus dijinakan. Karena sudah sangat nyata bahwa dalam sejarah Indonesia moderen, tak ada penguasa yang sanggup mengendalikan diri dan tanggap untuk memberikan hak-hak rakyat sepenuhnya. Selalu diiringi penggalan-penggalan sejarah memilukan tentang perampasan, pemerkosaan dan perampokan akan hak-hak rakyat oleh para penguasa di negara yang merdeka sejak 63 tahun lalu ini. Agaknya, perlu dikaji bahwa ada dua anggapan akan perkara menjinakan kekuasaan ini. Filsuf mashur Inggris itu menuliskan, di satu sisi TAO menganggapnya tidak dapat dipecahkan, dan mereka menganjurkan anarkisme. Dan pada sisi lain, para pengikut KONFUSIANISME yang mengandalkan pendidikan. Pentingnya etika dan cara memerintah yang diharapkan dapat mengubah para penguasa. Agar mengendalikan dengan bijaksana dan mampu menahan diri dari tindakan-tindakan yang berlebihan dan memiliki keutamaan. Walau bagaimanapun Russell tak hanya berangkat dari adanya gelombang demokrasi yang kini menggerus negara-negara otoriter melalui berbagai celah. Karena demokrasi adalah kepastian merenggut maut negara-negara yang secara ketat menjadikan penguasa sebagai tuannya sendiri. Sebagaimana dinyatakan Russel yang juga ahli matematika ini, “bagi setiap orang yang mempelajari sejarah atau sifat dasar manusia. Pasti memahami, bahwa demokrasi meskipun bukan suatu pemecahan yang tuntas. Tapi merupakan suatu bagian yang pokok dari pemecahan yang tuntas”. Karenanya, bagi Russell, untuk menuntaskannya selain memperhitungkan kondisi (1) politik (demokrasi), tapi juga (2) ekonomi; (3) propaganda; dan (4) psikologis dan pendidikan. Era reformasi yang telah menyokong lahirnya demokrasi politik, nampaknya telah menyuburkan banyak gagasan, bagaimana demokrasi sebagai persyaratan menjinakan kekuasaan bisa dihidupkan. Namun, antusiasme ke arah demokrasi politik itu ternyata kurang diiringi dengan kehendak untuk menciptakan demokrasi ekonomi. Sehingga kemudian timbul cetusan yang mendevaluasi demokrasi politik. Ungkapan yang dinyatakan Wakil Presiden Yusuf Kalla, beberapa waktu lalu bahwa demokrasi hanyalah alat untuk menciptakan kesejahteraan, patut disimak. Dari sisi negatif, bisa ditafsirkan sebagai kecenderungan untuk men-dispute perkembangan ke arah demokrasi politik. Tapi pada sisi positif, merupakan kritik bahwa demokrasi harus terlaksana secara efisien guna membuahkan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat. Namun demikian, apa sebenarnya kelebihan demokrasi (politik) itu ? Bagi Russell, kelebihan-kelebihannya justru bersifat negatif : Demokrasi tidak menjamin adanya pemerintahan yang baik, namun ia mencegah keburukan-keburukan tertentu2. Sementara itu, gagasan dan penerapannya di Indonesia terus bergulir ke satu gugus tanpa peduli pada ekonomi. Mungkin kita perlu menengok persyaratan ekonomi yang nampaknya kurang mendapat perhatian yang seimbang daripada politik itu. Karena hal inilah, perlu untuk mengungkap kembali kondisi ekonomi bangsa sebagai persyaratan lain untuk menjinakan kekuasaan. Dengan sendirinya, untuk memfokuskan pencerahan, perhatian terhadap propaganda dan pendidikan sebagaimana persyaratan menjinakan kekuasaan lainnya, ditampilkan menjadi bagian pelengkapnya. Bangsawan yang wafat dalam usia 102 tahun ini menuliskan, baik demokrasi (murni) maupun Marxisme bertujuan untuk menjinakan kekuasaan. Yang pertama telah gagal karena ia demokratis di bidang politik saja. Dan yang kedua gagal karena yang diperhatikan hanya bidang ekonomi. Tanpa menggabungkan keduanya, tidak mungkin dicapai apa pun yang mendekati pemecahan terhadap masalah itu. Mengapa terjadi kecenderungan demikian ? Bagi pemenang Nobel Sastra di tahun 1950 ini, kegagalan Marxisme nampaknya bersumber dari berbagai dukungan pemilikan negara atas tanah dan aneka organisasi besar lebih didominasi oleh alasan yang semata-mata politis dengan mengabaikan teknik ekonomi. Akibatnya tanpa sengaja telah memunculkan suatu tirani baru, di bidang ekonomi sekaligus politik. Seolah-olah dunia bisnis itu kepunyaan para kapitalis individual, dan tidak mau mengambil pelajaran dari pemisahan antara pemilikan dan kekuasaan.Bagaimana dengan demokrasi murni ? Analisis Russell cukup tajam. Menurutnya, perlu dibedakan antara “pemilikan” dan “penguasaan”. Sebagian besar perusahaan (di Amerika), menunjukkan semua direktur biasanya secara bersama-sama hanya memiliki sekitar satu atau dua persen dari seluruh saham, namun mereka pada hakekatnya mempunyai kekuasaan penuh atas itu. Akibatnya, kaum kapitalis para pemegang sahamnya sekalipun tak mempunyai kuasa, penghasilan darinya menjadi sangat tidak menentu. Hingga penanam modal yang bersahaja itu pun dapat dirampok dengan cara yang sopan dan sah menurut undang-undang. Dimana tidak ada bedanya dengan kekuasaan atas pemilikan dikuasai oleh negara. Oleh sebab itu, menurut Russell, walaupun pemilikan dan kekuasaan negara atas semua industri besar dan keuangan merupakan suatu persyaratan yang perlu untuk menjinakan kekuasaan, ia masih jauh dari memadai. Persyaratan itu masih harus dilengkapi dengan suatu demokrasi yang menyeluruh, lebih terjamin terhadap tirani resmi, dan dengan ketentuan-ketentuan yang lebih tegas mengenai kebebasan propaganda (baca : pers), dibandingkan dengan setiap demokrasi politik murni yang pernah ada. Ia kemudian mengutip Eugene Loys,”dan jika tidak ada alat-alat pengerem berupa pengawasan yang benar-benar demokratis dan ketentuan-ketentuan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk menegakkan legalitas yang harus ditaati setiap orang, kekuasan itu akan menjadi mesin penindasan”. Sebab, jika tidak diawasi dengan ketat kekuasaan pemerintah dan orang-orang yang menguasai industri dan keuangan akan bergabung menjadi penindas. Penjinakan kekuasaan melalui propaganda pengawasan, dengan demikian, dimaksudkan Russell, berarti mengikis watak otoriterisme teknikal yang terlindungi oleh kesewenangan yang diresmikan. Selain mencegah demokrasi yang mengarah pada kekuasaan totaliter. Sebab demokrasi dan kebebasan tanpa adanya kekuasaan dalam pengawasan dapat menjadi mesin untuk memuaskan nafsu berkuasa, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Kita tidak berharap, bahwa rakyat yang mayoritas kurang pendidikan (hanya tamatan Sekolah Dasar), kemudian berpikir bahwa tiada lagi jalan untuk menumpas kemiskinan dirinya selain dengan merampas, mencuri, merampok dan membunuh. Sebagaimana culasnya para penguasa politik dan ekonomi yang dengan lembut melakukan praktek korupsi dan kolusi, berlindung pada legalitas. Nampaknya, demokrasi hanya baru memberikan kebebasan resmi, sementara rakyat tidak memiliki “kekuatan” memadai untuk mengontrol para penguasa yang telah dipilihnya. Demokrasi yang tidak memberikan kebebasan riil (nyata) untuk meraih kesejahteraan adalah bentuk keterpasungan dan kemiskinan yang cenderung mendorong hasrat bagi lahirnya pemerintahan totaliter. Legalitas seharusnya bukan hanya menegaskan eksistensi dari otoritas, namun lebih dari itu harus memberikan kekuatan dan kemudahan untuk mengontrol perilaku penguasa sejalan dengan cita-cita kesejahteraan. Tanpa itu, bahwa demokrasi akan menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat banyak hanyalah isapan jempol belaka. Kebanyakan rakyat rupanya memilih jalan Taoisme (anarkis). Apa daya di tengah anggaran pendidikan yang ditetapkan 20% dari anggaran keseluruhan APBN, sejak amandemen konstitusi, mampet oleh tangan-tangan korup. Impitan ekonomi menjadi alasan yang selalu menjelma terjadinya kekerasan. Kekerasan kini tampil semakin memilukan. Ditandai dengan suburnya tragedi pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri. Wilayah kekuasaan keluarga yang penuh kasih kini telah runtuh sebagai benteng terakhir perlindungan para anak bangsa. “Beban hidup yang kian berat, tidak mampu ditanggung rakyat sendiri. Membuat mereka pun frustasi. Seharusnya negara membela rakyat kecil yang tidak punya” (Kompas, 29 Maret 2008). Tentu saja kita marah dan ingin bangkit melawan. Para penguasa yang sejatinya melindungi orang banyak malah abai atas tanggung jawabnya dengan memupuk kekayaan pribadi. Namun kemudian kita ingat bahwa negara yang kita punya, tidak diperjuangkan oleh kata-kata kosong melainkan oleh darah dan pengorbanan. Rivai Apin (1949) mengingatkan dalam puisinya : Ingatlah bila angin bangkit/ Bahwa daerah yang kita mimpikan/Telah bermayat/ Banyak bermayat. Dibawah matahari Indonesia, masih ada jalan untuk membangun, menghidupkan kata-kata yang sedang sekarat. Mari kita awasi implementasi anggaran di berbagai sektor yang semakin ganas di korup karena ambisi berkuasa dan ambisi menjadi pengikut para penguasa. Kita tidak berharap mayat-mayat korban demokrasi terus melimpah, mengapung diatas pusara para pejuang lahirnya Indonesia merdeka. Nasehat sesepuh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), Solikhin (70 tahun) yang beberapa hari lalu saya temui, perlu menjadi peringatan “Memang menyedihkan, tapi kita tak boleh sedih (la takhzan). Kesedihan hanyalah membuat kita menjadi bangsa tidak beradab. Bertindak hanya dengan rasa amarah meluap-luap”. Mari jinakkan kekuasaan dengan cara-cara yang beradab !!! (Igj/Maret/2008).


....

0 komentar:



Posting Komentar