Anda Menulis, Bukan Mengigau



ANDA MENULIS, BUKAN MENGIGAU
penulis ; Johanes Koen


Menumbuhkan tanggung jawab adalah menumbuhkan budaya. Karenanya sikap tersebut harus datang dari kesadaran. Tidak perlu sebuah aturan yang mewajibkan. Nah, seberapa jauh kita sadar akan apa yang telah kita tulis, lalu mempertanggungjawabkannya?

Suatu ketika Anda (secara sadar atau tidak sadar) menulis. Lalu Anda merasa takut untuk mempublikasikan karena tulisan tersebut mengandung materi yang sensitif dan potensial dipermasalahkan. Maka bisa jadi rasa takut itu datang karena ketidaksiapan Anda membela apa-apa yang telah anda kemukakan.

Di jaman yang sudah sangat komplek, berbagai macam penyimpangan bisa terjadi. Dan menyebarkan penyimpangan itu melalui tulisan adalah sebuah pilihan. Tetapi sebuah kesadaran untuk bertanggungjawab tetap diperlukan.

Beberapa yang perlu diperhatikan:

1. Jangan bermain opini tanpa bukti.
Sebuah opini harus memiliki dasar yang kuat. Dan salah satu dasar yang kuat adalah sebuah bukti. Anda boleh saja tidak menebar bukti di salah satu tulisan anda. Misal: bukankah tidak memungkinkan 'memasukkan' selembar kuitansi palsu pada puisi penggelapan dana yang Anda tulis. Tetapi anda tetap harus memiliki bukti tersebut ditangan Anda.

2. Pelajari Undang-undang
Hukum di Indonesia cukup kompleks. Apalagi sistem peradilan kita menganut sistem Eropa dimana hakim (yang belum tentu keilmuannya kompeten dengan kasus yang dihadapi) yang memutuskan bersalah-tidak bersalah. Berbeda dengan Amerika dimana salah-tidak bersalah diputuskan oleh juri.

Jika anda ingin menulis tentang 'keanehan' yang dilakukan oleh seorang dokter yang menurut hemat Anda tidak prosedural, Anda harus membaca dulu kode etik kedokteran indonesia. Anda juga harus membaca KUHP tentang pencemaran nama baik. Karena kita harus bertumpu pada sesuatu ketika kita menyatakan kebenaran akan sesuatu. Dan kita perlu tahu konsekuensi apa yang harus kita tanggung akan langkah yang kita lakukan itu.

Membaca KUHP yang menjanjikan pidana penjara bukan untuk membuat takut. Tetapi agar Anda tidak kaget akan resiko dari apa yang sedang dilakukan. Jika Anda takut, maka Anda akan tahu hal-hal apa yang harus anda siasati.

3. Buat sikap Anda terlebih dahulu, baru kemudian tuliskan
Beberapa orang kadang menuangkan tulisan yang memiliki tendensi pada pihak tertentu secara tidak sadar. Lalu serta merta kebingungan, lebih-lebih ketika banyak pihak memberikan intepretasi berbeda pada tulisan itu.

Untuk menghindarinya, putuskanlah dulu dimuka tentang sikap Anda, tujuan Anda menulis, dan sasaran yang Anda tuju. Jika perlu matangkan dulu ini dengan sebuah diskusi. Jika tulisan Anda sudah selesai, verifikasi kembali, atau minta seorang lain untuk membaca. Lalu tanyakan maksud tulisan itu menurutnya, kemudian cocokkan dengan tujuan sebelumnya. Sudah identik kah?

4. Siap membela, dan siap berkonflik.
Bercanda jika Anda menulis hal yang rawan, sensitif, dst sembari Anda bermimpi hidup Anda tetep adem ayem. Beberapa orang yang mentalnya tidak siap untuk menempuh proses ini, akan lebih memutuskan untuk tidak membela tulisan yang mereka buat secara sadar. Memprihatinkan.

Menulis, dan menghadapi konsekuensi, adalah setali dengan kesiapan mental untuk berkonflik (baca: berselisih paham) dengan pihak lain. Untuk itu tanyakan dulu pada diri sendiri, kuatkah mental Anda? Jika tidak siap, siapkan dulu. Beberapa yang lain menganggap bahwa kesiapan orang-orang disekitar Anda, dan bahkan kesiapan finansial juga perlu (ingat, legal opinion seorang pengacara pemula pun sudah berharga ratusan ribu). Tapi saya pribadi selalu beranggapan bahwa yang utama adalah kesiapan mental Anda terlebih dahulu.

5. Buka mata, adakah jalur yang lebih efektif?
Kadang seorang memilih menulis hanya sebagai curhat tentang kenegatifan seseorang/institusi dsb. Lalu karena globalisme dunia yang didukung teknologi, 'curhat' itu menyebar dengan cepat. Syukur jika curhat itu mendatangkan manfaat bagi yang dituju, tetapi kadang hanya sebagai 'angin lalu'.

Nah, setiap institusi biasanya mempunyai lembaga/jalur yang menangani komplain. Dan setiap pribadi biasanya masih mempunyai hati untuk diajak bicara. Gunakan dulu cara ini, jika belum berhasil, baru tempuh cara lainnya.

6. Tulis identitas Anda
Ketika Anda terbiasa menulis identitas/cara untuk mengakses diri Anda, itu akan membuat Anda bertanya pada diri Anda sendiri: siapkah saya dengan apa yang saya kemukakan ini.

Jika berlari dan bertindak sudah tak bisa kita miliki, maka kita masih bisa merangkak sembari mencatat. Ya, Bergerak!

-----
Foto diunduh dari: http://www.blogohblog.com/wp-content/pop/2008/06/how-to-write-ebook.gif